MULLA SADRA DAN AL-HIKMAH AL-MUTA’ALIYAH
A. PENDAHULUAN
Zaman
intelektual islam di mulai pada abad kesembilan sampai ketiga belas masehi
ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dari berbagai spesifikasi telah
membawa islam kepada puncak peradaban dunia. Seluruh itu, karena dibangun di
atas pondasi kuat lewat pola interaksi serta asimilasi antar lintas sosial,
kultural dari multi etuis, bahasa, agama dan bangsa. Dengan mengadopsi dan
merekonstruksi warisan ide – ide pemikiran yang berasal dari peradaban
sebelumnya, tentunya juga mengadakan observasi dan menemukan ide pemikiran dan
temuan baru.
Salah
satu spesifikasi keilmuan yang berpengaruh besar pada pengembangan dan
kelangsungan pengetahuan lain yakni filsafat merupakan bidang garapan pemikir
muslim sebagai kelanjutan proses budaya yunani, oleh pemikir (Filosof) muslim
di rekonstruksi kembali sedemikian rupa agar sejalan dengan ajaran – ajaran
islam, maka muncul filosof – filosof tersebut dengan konsep mereka masing –
masing. Namun pada abad ke XIV, M filsafat mengalami kemandekan akibat serangan
Al-Ghazali, tetapi ini hanya berlangsung di dunia Islam sunni, sedangkan di
dunia islam Syi’ah filsafat terus berkembang dan melahirkan filosofi terkemuka,
antara lain yang terpenting adalah Mulla
Sadra ia seorang filosofi muslim terbesar dan orisinil karena berhasil membuat
sistesis antar mazhab filsafat serta menemukan konseb terbaru dimana salah
satunya tentang gerak substantif ( harakah al-jauhariyah).
A. BIOGRAFI MULLA SADRA (Kehidupan dan pendidikan )
Nama lengkapnya Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi, dipanggil Sadr al-Muta’allihin (pemuka para filosof ketuhanan) atau lebih dikenal dengan Mulla Sadra, lahir di Syiraz salah satu kota terkenal di Persia (sekarang Iran), kira-kira 980 H/1571 M dan wafat pada1050 H/ 1640 M[1], di kota Basrah dalam perjalanan kembali dari ibadah haji. Ayahnya, Mirza Ibrahim adalah salah satu tokoh masyarakat Syiraz yang konon sempat menjadi menteri. Kehidupannya dijalani pada masa-masa kejayaan dinasti Safawi abad ke- 16-18 M/ 10-12 H, tepatnya ketika roda pemerintahan dipegang oleh Syah Abbas I (w.1038/1629) yang merupakan puncak penegakan Syiah Dua Belas sebagai agama negara (atau mazhab resmi hukum Islam). Pada awalnya ibukota Dinasti Safawi adalah Qazwin, kemudian pada masa kekuasaan Syah Abbas I, dari Qazwin berpindah ke Isfahan. Isfahan menjadi ibukota negara sekaligus saat itu menjadi satu-satunya kawasan kota yang indah dan megah juga arena percaturan intelektual yang masyhur[2]. Ditengah kondisi yang kondusif tersebut, Mulla Sadra mencurahkan perhatiannya pada studi ilmu-ilmu tekstual (al-‘ulum al-Naqliyyah) seperti fikih, tafsir dan hadist kepada ulama-ulama terkemuka semisal Syekh Baha’ al-Din al-‘Amili (w.1031H / 1622 M) dikenal sebagai syaikh Baha’i. Studi ilmu-ilmu rasional(al-‘ulum al-‘aqliyyah) kepada filosof peripatetik Mir Abu al-Qasim Fendiriski (w.1050 H / 1641 M) dan guru utamanya teolog – filosof Sayid Baqir Muhammad Astarabadi, yang dikenal sebagai Mir Damad (w.1041 H / 1631 M)[3].
Selain
filsafat Peripatetik (Masya’i),
Iluminasi (Isyraqi) dan Sufisme,
maka teologi disamping pengajaran ajaran-ajaran Imam-imam Syiah
tentunya, turut mewarnai studi-studi di Isfahan.
Ada beberapa
pemahaman penting untuk mengenal dan memahami kelompok-kelompok diatas
terhadap perbedaan dalam memberikan
jawaban khasnya terhadap satu pertanyaan yakni metode apa yang paling andal
untuk memperoleh pengetahuan tentang hakikat wujud dan Tuhan?
Secara umum, para filosof
peripatetik seperti Ibnu Sina, al-Kindi dan Al-Farabi mendukung premis bahwa
Intelek (al-’aql) sudah cukup menjadi bimbingan manusia untuk memenuhi hakikat
sesuatu dan mencapai kebenaran akhir. Mereka yakin bahwa prilaku mencari
pengetahuan itu justru mensyaratkan sejenis pencerahan oleh Intelek Aktif
(al-‘aql al-fa’al), tetapi penekanan mereka adalah pada pengetahuan rasional
yang dapat dicapai oleh oleh setiap manusia melalui berfungsinya pikirannya
secara sehat tanpa bantuan atau rahmat khusus apapun dari Tuhan. Terhadap
pandangan dari tokoh-tokoh ini, banyak mendapat kritikan dan serangan tajam
oleh teolog al-Ghazali [4].
Pada mulanya guru besar Iluminasi
al-Suhrawardi (w. 587/1191) melakukan perjalanan spiritual setelah lebih dulu
dalam kehidupan tasawuf dan kemudian memulai studinya dan pencahariannya dalam filsafat. Dialah
sufi yang menciptakan ikatan tasawuf dan filsafat. Tetapi dalam kasusnya,
menurut Seyyed Husein Nashr, usaha ini mengarah pada pembentukan mazhab
Iluminasi, yang esensi dan prinsipnya adalah menujukan teosofi intuitif (dzawqi) dan filsafat diskursif (bahtsi)[5].
Para sufi seperti Bayazid,
al-Bistami, Jalaluddin Rumi, dan Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa intelek manusia
yang terbatas saja tidaklah memadai dan dapat menyesatkan dan bahwa manusia
tidak akan dapat mencapai kebenaran akhir tanpa suatu pengetahuan yang
personal, mendalam dan langsung yang berasal dari penyingkapan sebagian atau
semua tirai (hijab) yang memisahkan manusia dari Tuhan.
Terakhir para teolog seperti
al-Asy’ari, berkeyakinan bahwa kebenaran hanya dapat dicapai melalui wahyu
Alquran, dan bahwa intelek dan penyingkapan cenderung menyesatkan.[6]
Secara lengkap Armahedi Mahzar melukiskan seluruh perbandingan
pokok-pokok pikiran dalam tradisi
Islam sebagai berikut :[7]
|
Kalam
Mu’tazilah
|
Hikmah
Masya’iyah
|
Hikmah
Isyraqiyah
|
Irfan
Wujudiyah
|
Hikmah
Muta’aliyah
|
Eksistensi
(wujud)
|
Riil
|
Riil
|
Mental
|
Riil
|
Riil
|
Esensi
(mahiyah)
|
Riil
|
Riil
|
Riil
|
Mental
|
Mental
|
Hubungan
Eksistensi
esensi
|
Eksistensi
mendahului esensi
|
Eksistensi
mendahului esensi
|
Esensi
mendahului eksistensi
|
Eksistensi
mendahului esensi
|
Eksistensi
mendahului esensi
|
Struktur
realitas
|
Polaritas
mutlak/nisbi
|
Jenjang
eksistensi
|
Gradasi
esensi
|
Jenjang
esensi
|
Gradasi
eksistensi
|
Metode
keilmuan
|
Rasio
Wahyu
|
Rasio
Wahyu
|
Rasio
Instuisi, Wahyu
|
Instuisi
Wahyu
|
Rasio
Instuisi Wahyu
|
Dalam latar
belakang demikianlah sistem pemikiran sadra yang khas tumbuh yang kelihatannya
benar-benar beda dari situasi
intelektual dan spiritual masanya.
Ada tiga
besar periode perjalanan dan perkembangan intelektual serta
spiritualnya sebagaimana digambarkan James Winston Morris [8]:
Periode pertama merupakan periode pembukaan yang dicurahkan pada kurikulum filosofis dan
agama tradisional yang ditekuni di Ibukota Safawi, Isfahan dibawah guru-guru yang sangat
dihormati pada jaman tersebut. Pada waktu yang sama, ia juga tertarik terhadap
suatu bidang tulisan-tulisan yang lebih Neoplatonis (khususnya karya-karya Ibnu
‘Arabi, Suhrawardi dan komentator-komentatornya) yang secara tradisional
dihubungkan dengan metoda-metoda dan penglihatan-pengihatn batin sufisme. Lambat laun apakah karena minatnya
pada penulis-penulis populer yang dicurigai ini atau, sebagaimana yang
dikemukakan oleh sumber lain, karena ketergesa-gesaannya terbuka pada massa ulama dan fuqaha fikih yang literal dia terpaksa meninggalkan
Isfahan.
Periode kedua merupakan penarikan dari kehidupan intelektual umum dan
mencurahkannya pada kontemplasi, latihan-latihan spiritual dan refleksi yang lebih dalam atas
studi-studi awalnya. Sebagian orang mengatakan bahwa ia pergi ke tempat yang
terisolir di gunung, kemungkinan dekat Qum dan tinggal disana menurut riwayat
selama lima
belas tahun. Sikapnya adalah berdoa dan bertawakkal kepada Tuhan dengan segala
keberadaannya. Lebih dari sekedar berjalan dengan kedangkalan dan seni
penalaran logika, ia merenungkan secara mendalam dan tulus masalah-masalah
fundamental tentang Tuhan, wujud dalam alam semesta dan berserah diri pada
serangan intuitif dari luar. Perenungan yang mendalam ini dibarengi dengan
praktek-praktek keagamaan yang berat. Sebagai hasilnya, pikirannya pun
dibanjiri oleh berbagai sudut pandangan baru. Bukan saja ia menemukan kembali
apa yang dipelajari sebelumnya melalui bukti-bukti rasional, dengan cara yang
baru dan intuitif, tetapi juga menemukan sejumlah kebenaran baru yang tidak
pernah ia impikan sebelumnya.
Shadra sebelumnya adalah
seorang filosof (tanpa mengabaikan bahwa
ia juga telah belajar ilmu-ilmu ortodok seperti hadist, tafsir dan kalam)
sebelum pergi kepengasingan, yang ia tempuh disamping karena penindasan, juga terutama
karena ia tidak yakin terhadap kebenaran-kebenaran filsafat yang metodenya
rasional murni yang ia anggap palsu dan lahiriah. Dengan demikian ia mencari
metode yang akan memberikan kepadanya kepastian yang dapat mengubah
proposisi-proposisi rasional semata menjadi kebenaran-kebenaran yang dialami.
Dalam pengakuannya yang di nyatakan diatas, ia menjelaskan hal ini. Situasi
seperti itu sangat erat hubungannya dengan al-Ghazali, dengan pengecualian
bahwa dalam kasus al-Ghazali, apa yang terutama di transformasikan kedalam
kebenaran yang hidup adalah persoalan-persoalan kalam Sunni ortodoks, sedangkan
bagi filosof kita ini yang harus ditransformasikan dan tetap hidup adalah
masalah-masalah filsafat rasional. Tidak seperti dalam kasus pertama dan kasus kedua
yang mengangap sufisme sebagai sumber jenis baru pengetahuan, tetapi sebagai
pengalaman atau kepastian intuitif : muatan kognitif filsafat dan sufisme ini
sebenarnya identik walaupun kualitasnya berbeda.[9]
Adapun periode terakhir
tampaknya pada suatu masa yang agak telat dari kehidupannya sadra kembali pada
posisi pengajaran yang aktif di kota
kelahirannya dan menuntutnya menulis karya al-Asfar al-Arba’ah sebagai karya
monumental.
Mulla Sadra mempunyai
sejumlah murid antara lain Mulla Muhsin Faidh al-Kasyani (w. 1680), Mulla Abd
al-Razaq al-Lahiji (w. 1661 M) dan Muhsin Tankabani (w. 1692).[10]
B. SUMBER – SUMBER DAN LATAR BELAKANG
INTELEKTUAL
Shadra mengkaji seluruh warisan filsafat, keagamaan dan spiritual Islam,
kecuali para filosof Spanyol, seperti Ibn Bajjah, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd
dari Spanyol dan wilayah Islam Barat. Ia
juga sangat berhutang kepada Ibn ‘Arabi, yang memberikan satu pengaruh
terpenting terhadapnya. Tradisi filsafat Peripatetik yang berawal pada Ibn
Sina, tradisi teologi kalam, baik Syiah maupun Sunni, filsafat Iluminasionis
Suhrawardi beserta para pengikut dan komentatornya dan akhirnya tradisi sufi yang berpuncak pada
Ibn ‘Arabi beserta murid-murid dan komentatornya. Semuanya masuk kedalam
struktur intelektual filosof kita. Dengan
demikian ada tiga untaian utama yang secara sadar disatukan oleh Shadra untuk
membentuk “sistesis besar”, yaitu (1) tradisi peripatetik Ibn Sina (2) tradisi
Iluminasionis al-Suhrawardi dan (3) Ibn ‘Arabi Dan sufisme.[11]
1.
Tradisi Peripatetik Ibn Sina (w.
428/1037). Ibn Sina diberi gelar al-Syaikh al-Rais yang berarti guru kepala,
hendak menjelaskan bahwa ia merupakan lantai atau pondasi yang mendasari semua
pembahasan filsafat dalam Islam. Tulisan- tulisan metafisika Ibn Sina yang
sudah dikomentari secara ekstensif dan
kreatif beberapa abad sebelum Shadra membentuk puncak teoritis dari sebuah
tradisi filosofis Aristotelian Islami. Shadra mencari dukungan dari
pernyataan-pernyataan bagi ajarannya sendiri yang khas seperti mengenai
realitas wujud dan kelemahan esensi disamping mengkritik, memodifikasi dan
terkadang membelanya dari kritik-kritik al-Suhrawardi, al-Thusi dan
lain-lainnya.
2.
Tradisi Iluminasionis al-Suhrawardi (w.
587/1191). Seorang filosof yang syahid pada usia 38 tahun yang sangat langsung
dan berpengaruh besar kepada Shadra,
dimana ia sendiri telah mensyarah kitab pentingnya al-Suhrawardi yakni Hikmah
al-Isyraq. Pengaruh ini dalam kenyataannya dapat dipahami sebagai suatu
penyempurnaan dan perluasan dari masa muda al-Suhrawardi serta upaya-upaya
perintis : perubahan-perubahan penting dalam pendekatan Shadra sendiri.
Pandangan al-Suhrawardi yang positif diterima oleh Sadra adalah pandangan yang
menyatakan bahwa esensi logis itu bukanlah realitas, karena defenisi logis
tidak menciptakan pembedaan yang tajam dalam realitas, pandangan lain adalah
tentang realitas, dengan demikian, adalah adalah cahaya tunggal yang berangkai
yang hanya dapat dijelaskan oleh pembedaan-pembedaan “lebih dan kurang” atau “
lebih sempurna dan kurang sempurna”. Kegelapan benar-benar negatif , yang nyata
ialah “tingkatan” cahaya yang tersusun secara berjenjang dari cahaya mutlak
(Tuhan) turun kepada apa yang disebutnya “cahaya-cahaya aksidental”. Gagasan
tentang jenjang realitas ini diambil alih oleh Sadra. Adapun pokok penentangan
Sadra kepada al-Suhrawardi adalah konsepnya tentang wujud adalah “gagasan atau hal sekunder yang
dipikirkan”, sebaliknya shadra menegaskan wujud adalah realitas satu-satunya.
Ia menjelaskan hanya wujudlah yang dapat menjadi lebih atau kurang, sedangkan
esensi bukanlah realitas sebenarnya, tetapi hanya ada dalam pikiran. Jika wujud
bukan realitas yang sebenarnya, apa yang tertinggal selain esensi? Tanyanya.
Esensi sendiri tidak dapat menjadi lebih kurang karena tiap esensi bersifat “tertutup”, statis dan pas. Lebih
jauh Sadra menggantikan cahaya al-Suhrawardi dengan wujud.
3.
Ibn ‘Arabi dan sufisme (w.
638/1240). Digelar al-Syaikh al-akhbar
yang berarti guru terbesar dan dikenal sebagai pengembang tradisi
tasawuf-falsafi. Pengaruh Ibn ‘Arabi bagi Mulla Sadra dapat dilihat pada tiga
isu penting : non-wujudnya esensi, realitas sifat-sifat Tuhan dan dan peran
eskatologis-psikologis alam citra (‘alam al-Mitsal). Mengenai yang pertama,
ungkapan Ibn ‘Arabi terkenal “esensi tidak bernada wujud” dikutip oleh Sadra
beberapa kali untuk mendukung ajarannya bahwa wujud adalah realitas
satu-satunya dan bukan esensi. Di antara hal penting lain adalah pengaruh Ibn
‘Arabi terhadap ajaran Shadra tentang “Alam Citra”. Ajaran ini digunakan oleh
Sadra juga Ibn ‘Arabi untuk membuktikan kebangkitan jasmani. Menurut mereka apa
yang mereka persepsi melalui indra di dalam dunia ini lebih lemah ketimbang –
karena kita terikat dengan dunia material – apa yang akan dipersepsi jiwa
dialam ahirat kelak yang sangat kuat dan riil.
C. KARYA-KARYA SHADRA
Shadra
telah menulis 32 atau 33 risalah dalam bahasa Arab dan hanya satu yang
berbahasa Persia.
Secara lengkap karya-karya Shadra terdiri dari tiga kategori :
1.
Tafsir atas ayat-ayat Alquran
yang disebut dengan Tafsir al-Kabir dan interpretasi atas atas
sabda-sabda Imam yang tercantum dalam Syarah usul al-Kafi.
2.
lembaran-lembaran insidental
seperti Kasr Asnam al-Jahiliyyah fi al Mutashawwifin, Risalah fi al-Hudust,
Risalah Fi al-Hasyar, Kitab al-Masya’ir dan Sih Asl (satu-satunya
karya yang ditulis dalam bahasa Persia)
3.
Tulisan-tulisan filolofis dan
teologis yang sangat terkenal dengan sebutan al-Asfar , lengkapnya Al-Hikmah
al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyah
al-Arba’ah. Kemudian risalah-risalah pendekatan yang dicurahkan pada topik-topik
individu dan sebuah himpuan pertanyaan yang lebih pendek (rasail) dan hubungan
seperti al-Syawahid al-Rububiyyah fi al-Manahij al-Sulukiyah dan al-Mabda’
wa al-Ma’ad dan Hikmah
al-‘Arsyiyyah. Terakhir merupakan komentar atas buku-buku teks standar dalam kurikulum filsafat yang waktu itu
seperti komentar atas al-Syifa
Ibn Sina dan Hikmah al-Isyraq al-Suhrawardi.
Selain dari yang diatas ada pula sejumlah karya-karya lain yang pastikan sebagai karya Sadra antara lain ; Risalah fi Ittihad al-‘Aqil wa al-Ma’qul, Ittishaf al-Mahiyah bi al-Wujud, Ajwibah ‘ala Masa’il al-Nashiriyyah, Asrar al-Ayat, Iksr al-‘Arifin fi Ma’rifah Thariq wa al-Yaqin, Risalah fi al-Tasyakhkhush, Risalah fi al-Tasawwur wa al-Tasdiq, Tafsir Suwar al-Qur’aniyyah, al-Tanqih, al-Hikmah al-‘Arsyiyyah, Risalah Khalq al-Amal, Dibabaceh Arsy al-Taqdis dan tentunya al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba’ah.[12]
D. CORAK PEMIKIRAN MULLA SADRA DALAM
AL-HIKMAH AL-MUTA’ALIYAH
Shadra adalah seorang filosof mistik-rasionalistik. Metodologinya berawal
dengan instuisi dan selanjutnya berkembang lewat wawasan filosofis dan berakhir
pada kesatuan pengalaman mistik. Ini merupakan metode pendekatan yang oleh
murid-murid Shadra diistilahkan dengan tepat sebagai “teosofi transendental” (al-Hikmah
al-Muta’aliyah)[13].
Metode filosofis ini merupakan sebuah ikhtiar untuk memotret realitas lewat
visi intelektual, yang digunakan sebagai pencirian atas mazhab filsafat Mulla
Shadra.
Mulla Sadra adalah filosof sistem karena ia telah membangun suatu sistem
dengan cara yang sistematis dalam magnum opusnya, al-hikmah al-Muta’aliyah
fi al-Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba’ah, yang diterjemahkan menjadi The
Trasendent Theosophy in Four Rational journey (Teosofi Transendental
Tentang Empat Perjalanan Akal).[14]
Empat perjalanan yang dimaksudnya tertera dalam kitab
tersebut berbunyi. Pertama, perjalanan dari alam makhluk kepada al-Haqq (min
al-khalq ila’l-haqq) dimana Sadra mengemukakan permasalah-permasalahan
metafisika dan ontologi. Dalam bagian
kitab al-Asfar ini, Sadra menguraikan pondasi-pondasi ontologi
dari sistem yang sedang dibangunnya seperti pengertian tentang filsafat, ada (wujud)
dan kedahuluannya atas esensi, gradasi wujud (tasykik al-wujud), wujud mental (wujud al-zhihni),
bentuk-bentuk platonisme (al-muthul al-Aflatuniyyah), kausalitas, gerak
substantif (harakah al-Jauhariyah), waktu, temporalitas asal mula alam (hudust
al-‘Alam), Intelek (al-’Aql), dan kesatuan Intelek dengan
Intelligibel.
Kedua, perjalanan bersama al-Haqq didalam al-Haqq (min al-haqq ila’l-haqq
bi’l haqq), akan ditemukan laporan
filsafat alam Sadra dan kritiknya terhadap sepuluh kategori Aristotelian,
tentang sekitar isu-isu diskusi secara ekstensif kategori-kategori,
substansi-substansi dan aksiden-aksiden, bagaimana entitas fisik menjadi ada,
hyle dan filosofi signifikansinya, materi dan bentuk (hylomorphism),
bentuk-bentuk alam, dan jejak-jejak hirarki pesan-pesan fisik.
ketiga,
perjalanan dari al-Haqq kepada makhluk bersama al-Haqq yang berhubungan dengan
perjalanan pertama (min al-haqq ila’l-haqq bi’l-haqq) dimana Sadra masuk
pada rekonstruksi teologinya, yang mana mendiskusikan dibawah judul metafisika
atau ilmu ketuhanan dalam pengertian yang khusus. Dalam sesi al-Asfar ini bahwa dimensi
teologi pada pemikiran Sadra tanpa belas kasihan secara terbuka menyerang para
mutakallim. Diantara isu-isu yang
dialamatkan sadra adalah tentang kesatuan dan eksistensi Tuhan, pemberian
bukti-bukti sebelum kalam tentang hal itu, kesederhanaan ontologi tentang wajib
al-wujud (Tuhan), nama dan sifat Tuhan, pengetahuan Tuhan tentang dunia,
kekuasaan Tuhan, sifat pemelihara, kalam Tuhan seperti kekuasaan Tuhan, baik
dan buruk, proses dari keberagaman dunia dari yang satu dan kesatuan filsafat (hikmah)
dan hukum Tuhan (syari’ah).
Terakhir, perjalanan bersama al-Haqq di alam makhluk sebagai perjalanan
keempat yang berhubungan dengan perjalanan pertama (min al-khalq ila’l-khalq
bi’l-haqq) dimana rangkaian besar yang ada dalam al-Asfar dilengkapi dengan
psikologi, kebangkitan dan eskatologi.[15]
Pada tataran
epistemologi al-Hikmah al-Muta’aliyah didasarkan pada tiga prinsip :
intuisi intelektual (dzawq atau isyraq), pembuktian rasional (‘aql
atau istidlal) dan syariat. Sehingga hikmah adalah kebijaksanaan (wisdom)
yang diperoleh lewat pencaharian rohaniah atau instuisi intelektual dan
disajikan dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumen-argumen
rasional.
Secara ontologis al-Hikmah al-Muta’aliyah didasarkan pada tiga hal
: ashalah al-wujud (prioritas wujud), tasykik al-wujud (gradasi
wujud) dan harakah al-jauhariyah (gerak substantif).
Ashalah
al-Wujud (prioritas wujud)
Filsafat Islam membedakan
antara wujud (eksistensi) sesuatu dan mahiyah (esensi) nya. Para
filosof berbeda pendapat mana yang lebih dulu
menjadi prioritas, eksistensi ataukah esensi? Dalam studi mereka
sehubungan dengan wujud dan mahiyah kaum muslimin terbentuk kepada dua kelompok
; ada yang berpandangan dengan prioritas wujud dan bahwa mahiyah itu adalah
abstraksi dalam akal. Ada
pula yang berpendapat dengan prioritas mahiyah sedangkan wujud itu semata-mata
formulasi abstraks dalam akal. Peripatetik dan sufi memilih pandangan pertama
sedangkan al-Suhrawardi dan pengikut al-Asy’ari berada pada kelompok kedua.
Mulla Shadra pada awalnya mengikuti pendapat gurunya Mir Damad, tetapi kemudian
berbalik menyerang Isyraqi dan menyatakan posisi peripatetisme.
Apa yang dimaksud dengan
ashalah dan al-Mahiyah (esensi)? Ashlah atau ashil dalam
bahasa Arab dan opini (al-‘urf)
berarti sesuatu yang memiliki substansi dan ras yang baik dan terpuji. Dalam
ontologi, ashil berarti berita atau data yang sejati atau faktual sebagai lawan dari fiktif dan
artifisial (i’tibari) dan imajiner. Jadi yang dimaksud dalam pembagian ashil dan ghair ashil adalah pembagian
maujud dan non maujud (ma’dum). Adapun al-mahiyah adalah istilah yang
dibuat dari dua kata “ma” (apa) dan “huwa” (itu) atau yang lazim
disebut esensi, kuiditas dan ke-apa-an. Esensi berhubungan dengan arti sebuah
fenomena, bukan adanya fenomena tersebut. Ia berurusan dengan pengertian, bukan
realitas objektifnya.
Sadra menegaskan kesejatian
wujud (ashalah al-wujud) dan tak kesejatian esensi (al-mahiyah).
Salah satu alasannya adalah apabila wujud bukan asal, maka adakah yang
mengeluarkan esensi dari kenetralan, selain wujud. Ia menegaskan bahwa yang
mempunyai realitas objektif (al-waqi’iyyah al-kharijiyyah) adalah
eksistensi (wujud), sedangkan esensi sesuatu yang subjektif, konstruktif
dan artifisial (i’tibari). Ada
beberapa alasan yang dapat diajukan untuk membuktikan hal tersebut :[16]
Pertama, esensi atau
kuiditas pada dasarnya netral, tidak menolak untuk diberi prediket “ada” juga
tidak dapat menolak negasinya “tiada”. Seandainya esensi adalah eksistensi
(realitas) itu sendiri, maka tidak dapat “ditiadakan” atau dinegasikan, karena
menegasikan inti atau zat adalah mustahil
dan karena ada realitas yang ekstrim, tidak netral terhadap ada dan
tiada. Karena itulah benar bila kita katakan “manusia ada” dan “manusia tidak
ada”. Lagi pula kuiditas memiliki ciri khas tertentu yang tidak dimiliki oleh
eksistensi. Karena itulah, pengertian kuiditas (mahiyah) berbeda dengan
pengertian wujud (ada). Pengertian wujud merefleksikan realitas objektif,
sedangkan kuiditas mengandung pengertian yang tidak memiliki realitas objektif,
sesuatu yang artifisial dan konstruktif.
Kedua, wujud adalah benang
merah antar segala sesuatu sedangkan kuiditas atau esensi ciri pembeda antar
segala sesuatu. Sesuatu yang sama (yaitu
wujud) jelas berbeda dengan yang khusus (yaitu kuiditas).
Ketiga, sesuatu disebut
ashil (memiliki realitas objektif) apabila ia mempunyai eksistensi. Kuiditas
atau esensi dapat memiliki realitas apabila menyandang wujud. Itu berarti bahwa
yang riil dan objektif hanyalah eksistensi.
Beberapa penjelasan tentang
wujud ini dalam al-Hikmah al-‘Arsyiyyah dapat dicantumkan sebagai
berikut :[17]
Bahwa yang ada adalah
realitas wujud atau sesuatu selain itu.
Yang dimaksud dengan realitas wujud adalah yang tidak tercampur dengan apapun selain wujud, apakah itu suatu
keumuman atau suatu kekhususan, suatu batas atau suatu batasan, suatu kuiditas,
suatu kekurangan atau suatu ketiadaan – dan inilah yang disebut dengan wajib
perlu (wajib al-wujud). Oleh karena itu
kita katakan bahwa jika realitas wujud tidak ada, maka tidak ada apapun
sama sekali yang yang ada. Namun konsekuensi ini ini terbukti (dengan
sendirinya) salah; maka premisnya pun salah.
Sedangkan penjelasan premis
keniscayaan Wujud awal ini, maka karena sesungguhnya selain realitas Wujud
adalah kuiditas dari kuiditas-kuiditas tertentu atau suatu wujud partikular,
tercampur dengan ketiadaan atau kekurangan. Dan tiap kuiditas selain Wujud ada
melalui Wujud, tidak dengan diri mereka sendiri. Bagaimana ( mereka bisa ada
tanpa wujud (keberadaan))? Karena jika diambil oleh dirinya sendiri, terpisah
dari wujud, kuiditas itu sendiri tidak bisa “ada” dengan dirinya sendiri, untuk
menjadi wujud. Karena untuk menetapkan sesuatu dengan yang lain telah
mensyaratkan penegakan dan keberadaan (wujud) suatu hal yang lain tersebut. Dan
itu – jika itu adalah sesuatu selain realitas wujud – tersusun atas wujud per
se ( atau “wujud qua wujud”) dan suatu
partikular yang lain. Namun setiap partikular selain wujud adalah tiada atau
memiliki sifat ketiadaan. Maka setiap yang tersusun (dari kuiditas partikular
dan wujud) adalah posterior (turunan) terhadap kesederhanaan wujud dan dalam
keadaan membutuhkan wujud.
Tasykik
al-Wujud (Ambigu Sistematis Wujud)
Tentang proposisi bahwa
wujud itu ambigu secara sistematis (tasykik al-wujud) Rahman menyimpulkan :[18]
(1) wujud dalam segala sesuatu dalam satu pengertian pada dasarnya sama;
sebaliknya jika ada perbedaan mencolok antara benda-benda dalam titik wujud,
maka istilah “wujud” sama sekali tidak mempunyai makna yang sama dan tidak
menjadi ambigu atau analog, tetapi perbedaan yang mencolok; (2) wujud, karena
sama, bahkan menciptakan perbedaan-perbedaan
mendasar yang membuat setiap
maujud unik : wujud tidak seperti bawang, yang sepenuhnya yang dapat dikelupas
tanpa sisa, tetapi seperti wajah keluarga yang mempunyai sesuatu yang mendasar
secara umum, meskipun masing-masing unik; (3) berkat gerak substantif dalam
wujud, semua bentuk wujud yang lebih rendah dikandung alam, dan dilampaui oleh
bentuk-bentuk yang lebih tinggi. [19]
Harakah
al-Jauhariyyah (Gerak substansial)
Filosof pertama yang menemukan
konsep gerak adalah Aritoteles (w. 322 SM), dari argumen inilah ia menjelaskan
tentang keberadaan Tuhan sebagai penggerak yang tak bergerak. Aristoteles
memandang perubahan di alam dari potensia menjadi aktual seperti perkembangan
biji yang mengandung kemungkinan di alamnya menjadi pohon yang hidup menurut
hukum yang tidak kelihatan. Dengan pandangan metafisika semacam itu Aristoteles
meletakkan dasar bagi prinsip-prinsip perkembangan. [20]
Aristoteles
memperluas studinya tentang gerak. Gerak menurutnya terdiri pada tiga kategori
: [21] yakni kualitas, kuantitas dan tempat.
Kategori kualitas tercakup kedalamnya antara lain : warna, bentuk, panas,
dingin, rasa dan sebagainya. Kualitas mengalami perubahan seperti perubahan
warna putih menjadi hitam. Adapun gerak pada kuantitas antara lain tumbuh dan
kurang. Gerak ini terletak pada jumlah. Sedangkan gerak pada tempat adalah berpindah tempat.
Para
filosof muslim banyak menerima defenisi Aristoteles dan mengikuti konsep-konsep
geraknya serta menambah gerak pada posisi.
Gerak secara umum bermakna ;
“munculnya sesuatu dari dengan
perjalanan berangsur angsur dari potensialitas keaktualitas”.
Substansi adalah sesuatu yang tidak
memerlukan partner dalam wujud,[23]
sedangkan kategori aksiden adalah sebaliknya secara akal tidak bisa eksis tanpa
adanya partner. Misalnya warna, maka tidak ada warna seandainya tidak ada benda
yang dijadikan pijakan.
Dalam pandangan Sadra
defenisi gerak diatas hanya ide abstrak turunan yang relatif dalam pikiran karena gerak (dalam artian primer) secara
tepat adalah pembaharuan terus-menerus (wujud dan substansi tiap sesuatu).[24]
Beda antara kedua makna
gerak ini seperti beda antara wujud dalam artian (konsep) turunan yang
abstrak yang merupakan salah satu dari
intelligible (kedua) dalam fikiran dengan wujud dalam artian suatu realitas
yang melaluinya sesuatu secara aktual menjadi ada.[25]
Para
filosof sebelum sadra berpendapat bahwa gerak tidak mungkin terjadi pada
kategori substansi dan sadra mengatakan bahwa gerak dapat terjadi pada substansi.
Menurut sadra pemahaman sebelum dirinya itu muncul karena kebingungan antara
esensi dan wujud juga antara potensi dan aktual. Untuk memperkuat pandangannya,
ia juga mengutip ayat Alquran untuk memperkuat argumennya antara lain :
a. surat al-naml ayat 88 ;
“Dan kamu lihat gunung-gunung
itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padaha ia berjalan sebagaimana jalannya
awan”.
b. surat al-Qaf ayat 15 ;
“… sebenarnya mereka dalam
keadaan ragu tentang penciptaan yang baru..”
c. surat
ibrahim ayat 18 ;
“..jika Ia menghendaki,
niscaya Dia akan membinasakan kamu dan menggantikanmu dengan makhluk yang
baru”.
E. KESIMPULAN
Mulla Sadra adalah seorang filosof terkemuka lahir di syiraz pada 980 H/ 1571 M Selama dalam pendidikannya ia belajar kepada
guru-guru terkemuka isfahan seperti
Baha`uddin al-`Amili,Mir Fendiriski dan
Mir Damad. Pada masa kejayaan dinasi Syafawi, banyak mazhab pemikiran
yang berkembang di Isfahan, baik
teologi, filsafat khususnya
peripatetik (masya`I) dan iluminasi(isyraqi), tasawwuf dan ajaran-ajaran imam-imam syiah. Pada
awalnya Mulla sadra mempelajari seluruh
mazhab tersebut, namun karena merasa tidak puas dan kebingungan, kemudian ia
melakukan perenungannya terhadap seluruh pemikiran sambil melakukan dengan berat semua
ibadah-ibadah ritual dan akhirnya ia memperoleh hasil yang luar biasa karena
berhasil melakukan sistesa antar berbagai mazhab dengan menemukan hasil
pemikirannya sendiri dimana penemuan itu berhasil menyelesaikan berbagai
keraguan dan kebingungan banyak pikiran manusia tentang filsafat.
Mulla Sadra adalah pemikir besar
yang menemukan kedahuluan wujud
(asalah al-wujud) , gradasi wujud (tasykik al-wujud) dan terakhir, gerak
substantif (harakah al-jauhariyyah). Sebelum dirinya para filosof meyakini gerak hanya terjadi
pada empat kategori aksiden, yakni; kualitas kuantitas, posisi dan tempat
serta mengingkari gerak pada substantif. Sadra mengatakan bahwa gerak dapat pula terjadi
pada substansi yang dijelaskan dengan penemuannya tentang kedahuluan wujud
kedahuluan dan gradasi wujud.
Dengan wafatnya pada 1640 M, jika
mazhab-mazhab filsafat pada masa sebelumnya hanya ada dua, yakni peripatetik
dan iluminasi, maka penemuan Sadra dalam filsafat menyebabkan ditambahkan teosofi transendental sebagai mazhab ketiga.
Kini lengkaplah sudah mazhab filsafat dalam Islam, yaitu : Peripatetik
(masya`I), iluminasi(isyraqi) dan teosofi transendental (hikmah al-muta`aliyah).
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro, Filsafat
Umum. Jakarta:
RajaGrafindo, 2000.
Acikgence, Alparslan, Sistem Pemikiran
Filsafat : Sebuah Model yang Islami,
terj. Arif Mulyadi. Jakarta
: Jurnal Ilmu-ilmu Islam al-Huda, 2000.
Alawi, Hadi, nazhriyah al-Harakah al-Jauhariyah Ind al-Syirazi. Baghdad : Mathba’ah
al-Irsyad, 1971.
Ali, K., Sejarah Islam
(Tarikh Pra-Modern), terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2003.
Chittick, William C., Hubungan
Tasawuf Dan Filsafat Dalam Sejarah Islam
Awal: : Korespondensi al-Thusi dan al-Qunawi. Bandung
: Studi-Studi Jurnal al-Hikmah, yayasan Muthahhari, 1992.
Ghazali, ,Tahafut
al-falasifah, kerancuan para filosof, terj. Ahmadi Taha. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1986.
Kalin, Ibrahim dalam http://www. Islamicphilosophy.com.
Labib, Muhsin, Hawzah Ilmiyah Qum
: Ladang Peternakan Filosof Muslim Benua
Lain. Jakarta
: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam al-Huda, 2003.
Mallat, Chibli, Menyegarkan Islam, terj. Santi
Indra Astuti. Bandung
: Mizan, 2001.
Morris, James Winston,
Pengantar Kearifan Puncak, terj.
Dimitri Mahayana, Cet
I. Yokyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Nashr, Seyyed Husain, Hubungan
Antara Filsafat dan Tasawuf, Kasus Kultur Persia, terj Abdi M. Suherman. Bandung : Studi-Studi Jurnal al-Hikmah, yayasan
Muthahhari, 1992.
Rahman, Fazlur, Filsafat Shadra. Bandung : Pustaka, 2002.
Sadra, Mulla, Kearifan Puncak, terj. Dimitri Mahayana & Dedi
juniardi.Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.
Tim Penulis IAIN Syarif
Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta : Djambatan, 1992.
Zanjani, Ibrahim Musawi, Bidayah al-Falsafah
al-Islamiyah. Beirut
: Muassasah al-A’lami li al-Matbu’at, 1977.
DAFTAR ISI
A. PENDAHULUAN ……………………………………………………1
B. BIOGRAFI MULLA SADRA ………………………………………. 1
C. SUMBER-SUMBER DAN LATAR BELAKANG
INTELEKTUAL.6
D. KARYA-KARYA SADRA …………………………………………9
E. CORAK PEMIKIRAN MULLA SADRA DALAM
AL-HIKMAH AL-MUTA’ALIYAH …………………………………………………..10
F. KESIMPULAN ……………………………………………………17
MULLA SADRA DAN CORAK FILSAFAT
ISLAM KONTEMPORER
MAKALAH
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS PADA MATA KULIAH
SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM
OLEH
SYAHMIRUDDIN PANE
NIM 09 EKNI 1479
DOSEN PEMBIMBING
DR. H. HASAN BAKTI NASUTION, MA
PROGRAM
PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
[1] James
Winston Morris, Pengantar
Kearifan Puncak, terj. Dimitri
Mahayana, Cet I (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) h. 18, dalam Ensiklopedi
Islam Indonesia dinyatakan tahun kelahirannya pada 1572, lihat Tim Penulis IAIN
Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta : Djambatan,
1992) h. 689, sedangkan Fazlur Rahman menyatakan tahun kelahirannya tidak
diketahui, Lihat Fazlur Rahman, Filsafat Shadra (Bandung : Pustaka,
2002) h. 1
[2] Setelah
serangan mongol terhadap Abbasiyah telah mengakibatkan kehancuran dinasti ini
pada abad ke-13 M, maka pada periode berikutnya
ditandai dengan munculnya tiga kerajaan muslim yakni Turki Usmani di
Turki, Mughal di India dan Syafawi di
Iran. Lihat K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pra-Modern), terj. Ghufron A.
Mas’adi (Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2003) h.
518-543
[3] Fazlur
Rahman , Filsafat , h. 10. lihat pula Ibrahim kalin dalam http://www. Islamicphilosophy.com, hal 1
[4] Serangan
al-Ghazali (958-111) terhadap para
filosof terangkum dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, topik pembahasan kitab
tersebut berkisar pada kritikan dua
puluh masalah dan dari sekian banyaknya, ada tiga masalah yang dianggap
al-Ghazali dapat membawa filosof kepada kekafiran, yakni ; masalah kekadiman
(etenitas) alam, pernyataan bahwa pengetahuan Allah Ta’ala tidak meliputi
individualia-individualia (al-juziyyat) dan pengingkaran filosof terhadap kebangkitan tubuh-tubuh, lihat
al-Ghazali, ,Tahafut al-falasifah, kerancuan para filosof, terj. Ahmadi
Taha (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1986)
[5] Seyyed
Husain Nashr, Hubungan Antara Filsafat dan Tasawuf, Kasus Kultur Persia,
terj Abdi M. Suherman ( Bandung : Studi-Studi Jurnal al-Hikmah, yayasan
Muthahhari, 1992) h. 80
[6] William
C. Chittick, Hubungan Tasawuf Dan
Filsafat Dalam Sejarah Islam Awal: : Korespondensi al-Thusi dan
al-Qunawi, Ibid, h. 60
[7]
Armahedi Mahzar, Mencari Kesatuan Dalam Kemajmukan Realitas : Pengantar untuk Terjemahan The Philosophy
of Mulla Shadra
[8]
James Winston Morris, Pengantar, h. 19 - 20
[9] Fazlur
Rahman, Filsafat, h. 5
[10] Muhsin
Labib, Hawzah Ilmiyah Qum : Ladang
Peternakan Filosof Muslim
Benua Lain (Jakarta : Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam
al-Huda, 2003) h. 157
[11] Fazlur
Rahman, Filsafat, h. 13. Winston Morris menyimpulkan empat sumber
pemikiran dengan menambahkan
kedalamnya Ilmu Kalam, lihat James Winston Morris, Pengantar, h. 26,
sedangkan Jalaluddin Rahkmat dengan mengutip pandangan S. H. Nashr menambahkan
ketiga sumber tersebut dengan syariat Islam termasuk sabda Rasulullah SAWW dan
Imam-iman Syi’ah, terutama sekali nahj
al-balaghah, lihat Jalaluddin rahmat, Pengantar dalam Kearifan Puncak
[12]
Muhsin Labib, Hawzah, h. 157
[13] Menurut
Jalaluddin Rakhmat ada dua faktor
kemungkinan penyebutan teosofi
transendental (al-Hikmah al-Muta’aliyah) sebagai istilah mazhab Mulla
Shadra. Pertama, judul al-Asfar
dimana terkandung adanya mazhab dan pandangan dunia berdasarkan ajaran
metafisika, yang di dalam matriknya dijelaskan empat perjalanan intelektual
menuju maqam kepastian; dan kedua,
mungkin ada ajaran lisan dari sang guru sendiri yang menunjukkan bahwa istilah
itu bukan saja judul buku tetapi juga nama mazhabnya. Lihat Pengantar dalam Kearifan
Puncak, Ibid
[14]
Alparslan Acikgence, Sistem Pemikiran Filsafat : Sebuah Model yang Islami, terj. Arif
Mulyadi (Jakarta : Jurnal Ilmu-ilmu Islam al-Huda,
2000) h. 77
[15]
Ibrahim Kalin, http, h. 2
[16] Muhsin
Labib, Hawzah, h. 152
[17] Mulla
Sadra, Kearifan Puncak, terj.
Dimitri Mahayana & Dedi juniardi (Yokyakarta : Pustaka Pelajar, 2001) h.
125
[18]
Fazlur Rahman, Filsafat, h. 46
[19] Pada
bagian yang telah lewat, penulis sekilas telah menjelaskan tepatnya pada pembahasan sumber-sumber pengetahuan Sadra, di mana salah satunya berasal dari al-Suhrawardi tentang degradasi
cahaya yakni perbedaan antara satu cahaya dengan cahaya yang lain. Sebagai
contoh; ada cahaya matahari, lampu, lilin dan sebagainya. Perbedaan tersebut
tidak menafikan nama sebuah cahaya walaupun berbeda kualitas cahaya tersebut
antara satu dengan lainnya. Konsep tersebut dipinjam oleh sadra untuk menguraikan konsepnya tentang Tasykik
al-Wujud. Sebagai contoh ada manusia, ada malaikat dan ada Tuhan yang
menunjukkan tidak ada perbedaan makna dari ada-ada diatas dan perbedaan itu
hanyalah pada keberadaan ada itu sendiri. Keberadaan Tuhan adalah Ada murni (yakni tidak
bercampur dengan esensi) atau wajib al-Wujud sedangkan keberadaan manusia
adalah ada nisbi (yakni bercampur dengan esensi)
[20] Menurut
Muhammad Baqir al-Sadr, sebagaimana dikutip Chibli Mallat, bahwa Aristoteles
menekankan pada pergerakan sebagai suatu realitas perlahan-lahan dari potensi
ke aktual suatu objek. Tekanan Aristotelian ini pada perkembangan dalam semesta
melalui perwujudan potensialitas-potensialitas diperbaiki oleh konsep Mulla
Sadra yaitu harakah al-jauhariyyah (gerak substantif), lihat Chibli Mallat,
Menyegarkan Islam, terj. Santi Indra Astuti
(Bandung
: Mizan, 2001) h. 27
[21] Menurut
Aristoteles, berfikir harus dilakukan dengan bertitik tolak pada
pengertian-pengertian sesuatu benda, suatu pengertian memuat dua golongan,
yaitu : substansi (sebagai sifat yang
umum) dan aksiden (sebagai sifat yang tidak kebetulan). Dari dua golongan
tersebut terurai menjadi sepuluh macam kategori, yaitu : substansi, kuantitas,
kualitas, relasi, tempat, waktu, keadaan, mempunyai, berbuat dan menderita,
lihat, Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta
: RajaGrafindo, 2000) h. 53.
[22] Hadi
al-‘Alawy, nazhriyah al-Harakah al-Jauhariyah Ind al-Syirazi ( Baghdad : Mathba’ah
al-Irsyad, 1971) h. 10
[23]
substansi (jauhar) terdiri dari akal (al-‘aql), jiwa (al-nafs al-Natiqah),
materi (al-hayuli), Forma (al-Surah) dan
raga (al-jism). Lihat Ibrahim
Musawi al-Zanjani, Bidayah al-Falsafah al-Islamiyah (Beirut : Muassasah
al-A’lami li al-Matbu’at, 1977) h. 61
[24]
Mulla Sadra, Kearifan Puncak, terj. Dimitri Mahayana (Yokyakarta : Pustaka
Pelajar, 2001) h. 152
[25]
Ibid,. h 153
Tidak ada komentar:
Posting Komentar