FILOSOFI BISNIS SYARIAH
Oleh : Syahmiruddin Pane, S.Sos, M.A.
A.
Filosofi Bisnis Islami
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam jual beli sehingga dapat membawa
pada pola transaksi jual beli yang sehat dan menyenangkan. Oleh karena itu,
tidaklah cukup mengetahui hukum jual beli tanpa adanya pengetahuan tentang
konsep pelaksanaan transaksi jual beli tersebut. Sebenarnya, konsep yang
penulis tawarkan tidaklah sulit melainkan konsep yang sering ditemui di
kalangan masyarakat. Hanya saja, dalam hal ini, penulis ingin memperkenalkan
konsep “JARAS” dalam transaksi jual beli yang mengacu pada Fiqh Islam. Hal ini
dimaksudkan agar transaksi tersebut jauh dari perbuatan keji, kotor dan bahkan
merugikan.
Banyak
para penjual dan pembeli tidak menghiraukan konsep di atas padahal konsep
tersebut merupakan awal untuk bangkit dan menguntungkan. Di samping itu, konsep
tersebut juga merupakan komponen dalam konsep jual beli dalam fiqh Islam. Jika
diperhatikan secara global, memang perilaku tersebut kelihatan remeh, tetapi
sebaliknya, jika benar-benar diperhatikan, maka akan dapat membuat pola
transaksi jual beli yang sehat, menyenangkan dan bahkan menguntungkan. Konsep tersebuta dalah
sebagai berikut:
a.Jujur
Sifat
jujur merupakan sifat Rasulullah saw. yang patut ditiru. Rasulullah saw dalam
berbisnis selalu mengedepankan sifat jujur. Beliau selalu menjelaskan kualitas
sebenarnya dari barang yang dijual serta tidak pernah berbuat curang bahkan
mempermainkan timbangan. Maka, latihlah kejujuran dalam pola transaksi jual
beli karena kejujuran dapat membawa keberuntungan.
Sebagaimana
penjelasan dalam Hadits; Artinya: Dari Abdullah bin Harits. Ia mengadu kepada
Hakim bin Hazim ra. Dan beliau berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “penjual
dan pembeli dapat melakukan khiyar (memilih) selagi belum berpisah atau sampai
keduanya berpisah. Apabila keduanya telah setuju dan jelas maka jual belinya
mendapatkan berkah. Dan apabila keduanya saling menekan dan berdusta maka
dihapus keberkahan yang ada pada jual belinya (tidak mendapatkan keberkahan)”.
(HR.Al-Bukhari)
b.Amanah
Amanah
dalam bahasa Indonesia adalah dapat dipercaya. Dalam transaksi jual beli, sifat
amanah sangatlah diperlukan karena dengan amanah maka semua akan berjalan
dengan lancar. Dengan sifat amanah, para penjual dan pembeli akan memiliki
sifat tidak saling mencurigai bahkan tidak khawatir walau barangnya di tangan
orang. Memulai bisnis biasanya atas dasar kepercayaan. Oleh karena itu, amanah
adalah komponen penting dalam transaksi jual beli.
SebagaimanadalamAlquran;Artinya: Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanatkepadayangberhakmenerimanya,..(QS.An-Nisa,58)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS.Al-Anfaal,27)
c.Ramah
Banyak
orang yang susah untuk berperilaku ramah antar sesama. Sering kali bermuka
masam ketika bertemu dengan orang atau bahkan memilah milih untuk berperilaku
ramah. Padahal, ramah merupakan sifat terpuji yang dianjurkan oleh agama Islam
untuk siapa saja dan kepada siapa saja. Dengan ramah, maka banyak orang yang
suka, dengan ramah banyak pula orang yang senang. Karena sifat ramah merupakan
bentuk aplikasi dari kerendahan hati seseorang. Murah hati, tidak merasa
sombong, mau menghormati dan menyayangi merupakan inti dari sifat ramah. Oleh
karena itu, bersikap ramahlah dalam transaksi jual beli karena dapat membuat
konsumen senang sehingga betah atau bahkan merasa tentram jika bertransaksi.
Sebagaimana keterangan dalam Hadits;
Artinya:
Dari Jabir Bin Abdullah ra. Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Allah swt
akan mengasihi seseorang yang murah hati ketika menjual, membeli dan meminta.
(HR. Al-Bukhari)
d.Adil
Adil
merupakan sifat Allah swt. Dan Rasulullah saw merupakan contoh sosok manusia
yang berlaku adil. Dengan adil, tidak ada yang dirugikan. Bersikap tidak
membeda-bedakan kepada semua konsumen merupakan salah satu bentuk aplikasi dari
sifat adil. Oleh karena itu, bagi para penjual semestinya bersikap adil dalam
transaksi jual beli karena akan berdampak kepada hasil jualannya. Para konsumen
akan merasakan kenyamanan karena merasa tidak ada yang dilebihkan dan
dikurangkan.Sebagaimana keterangan dalam Alquran; Artinya:….dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Mahamen dengarlagi Maha melihat.(QS.An-Nisa,58).
e.Sabar
Sabar merupakan sikap terakhir ketika sudah berusaha dan
bertawakal. Dalam jual beli, sifat sabar sangatlah diperlukan karena dapat
membawa keberuntungan. Bagi penjual hendaklah bersabar atas semua sikap pembeli
yang selalu menawar dan komplain. Hal ini dilakukan agar si pembeli merasa puas
dan senang jika bertransaksi. Begitu pula dengan pembeli, sifat sabar harus ditanamkan
jika ingin mendapatkan produk yang memiliki kualitas bagus plus harga murah dan
tidak kena tipu.Sebagaimana keterangan dalamAlquran;Artinya: Jika kamu
memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat
bencana, mereka bergembira karenanya. jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya
tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.
Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan. (QS. Ali Imran,
120).
B.
Macam-macam Akad Transaksi
Menurut ulama’ fiqh, akad dapat dibagi dari beberapa
segi. Namun dalam hal hal ini kami membagi akad dilihat dari segi keabsahannya
menurut syara’. Sehingga akad dibedakan menjadi dua, yaitu akad shahih dan akad
yang tidak shahih.
1.
Akad Shahih
Akad shahih merupakan akad yang telah memenuhi syarat dan
rukun. Ulama’ Madhab Hanafi dan Madhab Maliki membagi akad shahih ini dalam dua
macam ;[1]
a) Akad yang nafiz, yaitu akad yang dilangsungkan dengan
memenuhi rukun dan syarat dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b) Akad Mauquf, merupakan akad yang dilakukan seseorang yang
mampu bertindak atas kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk
melangsungkan dan melaksanakan. Seperti akadnya anak yang masih mumayyiz tapi
belum baligh sehingga dia harus mendapat izin dari wali anak itu. Menurut
Madhab Syafi’i dan Hanbali, jual beli yang mauquf itu tidak sah.
Ulama’ fiqh juga membagi jual beli yang shahih dari segi
mengikat atau tidak.
a. Akad yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak,
sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak
lain. Seperti jual beli dan sewa menyewa.
b. Akad yang tidak bersifat mengikat bagi kedua belah pihak.
Seperti pinjam meminjam.
2.
Akad yang tidak
Shahih
Akad yang tidak shahih merupakan akad yang terdapat
kekurangan pada rukun atau syaratnya. Sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi
kedua belah pihak yang melakukan akad itu. Madhab Hanafi membagi akad yang
tidak shahih ini ke dalam dua macam.
a) Akad batil, apabila akad itu tidak memenuhi salah satu
rukun dan larangan langsung dari syara’. Seperti jual beli yang dilakukan anak
kecil.
b) Akad fasid, akad ini pada dasarnya dibenarkan tetapi
sifat yang diakadkan tidak jelas seperti menjula mobil tidak disebitkan
merknya, tahunnya, dan sebagainya.[2]
Di atas merupakan macam-macam akad transaksi secara umum.
Adapun akad yang biasa dipakai dalam sistem ekonomi syari’ah atau lebih khusus
lagi dalam perbankan syari’ah, akan dibahas pada sub bab akad transaksi implikasinya
dalam operasionan perbankan syari’ah.
Hal-hal yang Membatalkan Akad Transaksi
Ulama’ fiqh menyatakan bahwa suatu akad itu dapat menjadi
batal atau bisa dikatakan berakhir manakala terjadi hal-hal sebagi berikut ;
1) Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki
tenggang waktu.
2) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad
itu mengikat.
3) Dalam suatu akad yang bersifat mengukat, akad dapt
berakhir bila :
a.
Akad itu fasid
b.
Berlaku khiyar syarat dan khiyar aib
c.
Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu
pihak yang berakad.
d.
Telah tercapai tujuan akad itu secara
sempurna.
4) Wafat salah satu pihak yang berakad
Namun, menurut M. Ali Hasan dalam buku yang berjudul Berbagai
Macam Transaksi dalam Islam, akad itu bisa diteruskan oleh ahli warisnya
bila pewaris itu meninggal.[3]
Akad Transaksi Implikasinya dalam Operasional Perbankan
Syari’ah
Dalam bank syari’ah, akad yang dilalukan memiliki
konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan atau perjanjian yang
telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi
tidak demikian bila perjanjinan tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil
qiyamah.
Seperti akad dalam perbankan syari’ah, baik dalam hal
barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan
akad, seperti :
1.
Rukun, seperti
;
a.
Penjual
b.
Pembeli
c.
Barang
d.
Harga
e.
Akad/ijab qabul
2.
Syarat, seperti
;
a) Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas
barang dan jasa yang haram menjadi batal demi jukum syari’ah.
b) Harga barang dan jasa harus jelas.
c) Tempat penyerahan harus jelas karena akan berdampak pada
biaya transportasi.
d) Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam
kepemilika. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai
seperti yang terjadi pada transaksi short sale pada pasar modal.[4]
Secara umum, dalam sistem ekonomi syariah akad dibedakan
menjadi dua kelompok.
1)
Akad tabarru’
(kontrak transaksi untuk kebajikan)
Akad tabarru’ merupakan perjanjian atau kontrak yang
tidak mencari keuntungan materiil. Akad ini bertujuan untuk tolong menolong dan
pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil (tabarru’=bir
dalam bahasa arab berarti kebaikan). Akan tetapi dalam transaksi ini
diperbolehkan untuk memungut biaya transaksi yang akan habis digunakan dalam
transaksi tabarru’ tersebut[5].
Maksudnya, pihak yang berbuat kebaikan terebut boleh meminta kepada counter
partnya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat
melakukan akad tabarru’ tersebut.[6]
Contoh dari akad/transaksi tabarru’ adalah sebagai
berikut :[7]
a.
Qard
Yaitu pemberian harta jepada orang lain yang dapat
ditagih kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharap imbalan.
b. Rahn
Yaitu menahan salah satu harta milik si penminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
c. Hiwalah
Merupakan suatu pengalihan utang dari orang yang
berhutang kepada orang lain yang wajib mennggungnya. Dan masih banyak lagi
akas-akad yang tergolong dalam jenis tabarru’ ini.
Lalu dalam praktek perbankan syari’ah, transaksi tabarru’
ini dapat kita lihat dalam transaksi meminjamkan sesuatu. Yang mana objek
pinjamannya dapat berupa uang (lending) atau jasa (lending yourself).
Sehingga ada 3 macam akad transaksi dalam tabarru’ ini
a)
Meminjamkan
uang
Dalam hal meminjamkan uang ini, ada tiga bentuk akad yang
telah dijelaskan di atas, yaitu qard, rahn, dan hiwalah.
b)
Meminjamkan
jasa
Dalam hal meminjamkan jasa, ada kalanya melakukan sesuatu
atas nama orang lain, yang disebut dengan wakalah. Lalu, bila wakalah
itu dirinci tugasnya yaitu kita menawarkan jasa kita menjadi wakil seseorang
dengan tugas menyediakan jasa (penitipan, pemeliharaan) maka ini desebut wadi’ah
yang. Kemudian ada juga istilah wakalah bersyarat yang disebut dengan kafalah.
c)
Memberikan
sesuatu
Akad yang termasuk dalam golongan ini adalah akad-akad
seperti : hibah, waqf, shadaqah, hadiah, dan lain-lain.[8]
2)
Akad tijarah
(kontrak untuk transaksi yang berorientasi laba)
Telah dijelaskan pada wal tadi, berbeda dengan akad
tabarru’, akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for
profit sharing yang mana akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari
keuntungan. Contohnya akad investasi, jual beli, sewa menyewa, dan lain
sebaginya.
Sedangkan dalam sistem operasional perbankan syari’ah
yang menjadi karakteristik dasar adalah profit sharing atau yang lebih kita
kenal dengan sistem bagi hasil. Salah satunya adalah mudharabah, di mana
bank sebagai mudhorib (pengelola) sedangkan penabung bertindak sebagai shahibul
mal (penyandang dana). Itulah salah satu transaksi perbankan syari’ah dalam hal
penghimpunan dana.
Yang kedua, transaksi dalam hal pembiayaan, merupakan
pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang
merupakan defisit unit.[9]
Pembiayaan dalam bank konvensional lebih kita kenal dengan kredit. Namun
berbeda dengan bank syari’ah, pembiayaan tidak menggunakan konsep prosentasi
dan berpedoman pada profit sharing saja tetapi lose profit sharing karena
dalam sistem bagi hasil, belum tentu kita akan mendapatkan keuntungan, bisa
jadi sewaktu-waktu kita mengalami kerugian.
Jadi,
pada dasarnya sistem operasional perbankan syari’ah menggunakan konsep akad
transaksi yang telah diajarkan oleh Islam. Implikasinya, produk-produk yang
ditawarkan oleh perbankan syari’ah merupakan produk yang jauh dari unsur riba.
Karena perbankan syari’ah berperan sebagai solusi yang menjawab kekhawatiran
masyarakat terkait bunga bank.
C.
Kedudukan
Hukum Syariah dalam Sistem Perbankan Syariah
1.
Sistem perbankan Indonesia
Sistem
perbankan itu merupakan suatu tatanan yang didalamnya terdapat berbagai unsur
mengenai bank, baik menyangkut kelembagaannya, kegiatan usahanya serta cara
dalam melaksanakan kegiatan usahanya dengan mengikuti suatu aturan tertentu.
Untuk
mengetahui sistem perbankan di Indonesia, tak lain kita harus berpacu pada UU
tentang perbankan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Yang dapat disimpulkan
bahwa Perbankan Indonesia tidak hanya beroperasi dengan prinsip
konvensional saja, melainkan juga dapat beroperasi dengan prinsip syariah
secara berbarengan, yang biasa disebut dengan dual banking system.
2.
Bank Syariah sebagai Bagian Integral
Perbankan Nasional
Sebagaimana
telah disebutkan di atas tentang keleluasaan perbankan dalam melaksanakan
kegiatan usahanya, Bank umum dan Bank Pengkreditan Rakyat bebas memilih prinsip
yang akan digunakannya, baik konvensional maupun syariah.
Akan
tetapi ada perbedaan hak antara Bank umum dan Bank Pengkreditan.Bank Umum dapat
beroperasi dengan dua prinsip secara berbarengan secara terpisah, tapi Bank
Pengkreditan Rakyat hanya boleh memilih satu diantara dua pilihan
itu.Komvensional, atau syariah.
3.
Pengaturan Bank Syariah dalam Undang
- Undang Perbankan
Pengaturan
mengenai bank syariah dalam UU yang telah disebutkan, tidak hanya menyangkut
eksistensi dan legitimasi bank syariah dalam sistem perbankan nasional, tapi
juga meliputi aspek kelembagaan dan sistem operasional perbankan syariah itu
sendiri.
Dalam
peraturan tersebut telah diatur sedemikian rupa mengenai bank syariah, sejak
dari ketentuan mengenai syarat - syarat pendirian bank syariah, kepengurusan,
bentuk hukum bank syariah, aturan mengenai konversi bank konvensional menjadi
bank syariah, mengenai pembukaan kantor cabang, kegiatan usaha dan produk -
produk yang dapat dilakukan, mengenai keberadaan dan fungsi Dewan Pengawas Syariah
(DPS) dan hubungannya dengan Dewan Syariah Nasional (DSN), mengenai pengawasan
oleh Bank Indonesia selaku bank sentral, hingga mengenai sanksi - sanksi pidana
maupun administratif yang dapat dikenakan.
[1] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam
(Fiqh Muamalat), Jakrta : PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal 110
[4] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah
dari Teori ke Praktek, Jakrta : Gema Insani, 2001, hal 30
[5] http://punyahari.blogspot.com/2009/12/transaksi-dan-akad-dalam-ekonomi.html
[6] Ir. Adiwarman Karim, S.E, M.B.A.,
M.A.E.P., Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2004, hal 58
[9].Muhammad Syafi’I Antonio, op., cit., hal
160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar