ISLAM IS THE BEST

Sabtu, 15 Februari 2014

Filosofi Bisnis Syariah



FILOSOFI BISNIS SYARIAH
Oleh : Syahmiruddin Pane, S.Sos, M.A.


A.                Filosofi Bisnis Islami
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam jual beli sehingga dapat membawa pada pola transaksi jual beli yang sehat dan menyenangkan. Oleh karena itu, tidaklah cukup mengetahui hukum jual beli tanpa adanya pengetahuan tentang konsep pelaksanaan transaksi jual beli tersebut. Sebenarnya, konsep yang penulis tawarkan tidaklah sulit melainkan konsep yang sering ditemui di kalangan masyarakat. Hanya saja, dalam hal ini, penulis ingin memperkenalkan konsep “JARAS” dalam transaksi jual beli yang mengacu pada Fiqh Islam. Hal ini dimaksudkan agar transaksi tersebut jauh dari perbuatan keji, kotor dan bahkan merugikan.
Banyak para penjual dan pembeli tidak menghiraukan konsep di atas padahal konsep tersebut merupakan awal untuk bangkit dan menguntungkan. Di samping itu, konsep tersebut juga merupakan komponen dalam konsep jual beli dalam fiqh Islam. Jika diperhatikan secara global, memang perilaku tersebut kelihatan remeh, tetapi sebaliknya, jika benar-benar diperhatikan, maka akan dapat membuat pola transaksi jual beli yang sehat, menyenangkan dan bahkan menguntungkan. Konsep tersebuta dalah sebagai berikut:

a.Jujur
Sifat jujur merupakan sifat Rasulullah saw. yang patut ditiru. Rasulullah saw dalam berbisnis selalu mengedepankan sifat jujur. Beliau selalu menjelaskan kualitas sebenarnya dari barang yang dijual serta tidak pernah berbuat curang bahkan mempermainkan timbangan. Maka, latihlah kejujuran dalam pola transaksi jual beli karena kejujuran dapat membawa keberuntungan.
Sebagaimana penjelasan dalam Hadits; Artinya: Dari Abdullah bin Harits. Ia mengadu kepada Hakim bin Hazim ra. Dan beliau berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “penjual dan pembeli dapat melakukan khiyar (memilih) selagi belum berpisah atau sampai keduanya berpisah. Apabila keduanya telah setuju dan jelas maka jual belinya mendapatkan berkah. Dan apabila keduanya saling menekan dan berdusta maka dihapus keberkahan yang ada pada jual belinya (tidak mendapatkan keberkahan)”. (HR.Al-Bukhari)

b.Amanah
Amanah dalam bahasa Indonesia adalah dapat dipercaya. Dalam transaksi jual beli, sifat amanah sangatlah diperlukan karena dengan amanah maka semua akan berjalan dengan lancar. Dengan sifat amanah, para penjual dan pembeli akan memiliki sifat tidak saling mencurigai bahkan tidak khawatir walau barangnya di tangan orang. Memulai bisnis biasanya atas dasar kepercayaan. Oleh karena itu, amanah adalah komponen penting dalam transaksi jual beli.
 SebagaimanadalamAlquran;Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanatkepadayangberhakmenerimanya,..(QS.An-Nisa,58) Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS.Al-Anfaal,27)

c.Ramah
Banyak orang yang susah untuk berperilaku ramah antar sesama. Sering kali bermuka masam ketika bertemu dengan orang atau bahkan memilah milih untuk berperilaku ramah. Padahal, ramah merupakan sifat terpuji yang dianjurkan oleh agama Islam untuk siapa saja dan kepada siapa saja. Dengan ramah, maka banyak orang yang suka, dengan ramah banyak pula orang yang senang. Karena sifat ramah merupakan bentuk aplikasi dari kerendahan hati seseorang. Murah hati, tidak merasa sombong, mau menghormati dan menyayangi merupakan inti dari sifat ramah. Oleh karena itu, bersikap ramahlah dalam transaksi jual beli karena dapat membuat konsumen senang sehingga betah atau bahkan merasa tentram jika bertransaksi. Sebagaimana keterangan dalam Hadits;
Artinya: Dari Jabir Bin Abdullah ra. Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Allah swt akan mengasihi seseorang yang murah hati ketika menjual, membeli dan meminta. (HR. Al-Bukhari)

d.Adil
Adil merupakan sifat Allah swt. Dan Rasulullah saw merupakan contoh sosok manusia yang berlaku adil. Dengan adil, tidak ada yang dirugikan. Bersikap tidak membeda-bedakan kepada semua konsumen merupakan salah satu bentuk aplikasi dari sifat adil. Oleh karena itu, bagi para penjual semestinya bersikap adil dalam transaksi jual beli karena akan berdampak kepada hasil jualannya. Para konsumen akan merasakan kenyamanan karena merasa tidak ada yang dilebihkan dan dikurangkan.Sebagaimana keterangan dalam Alquran; Artinya:….dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Mahamen dengarlagi Maha melihat.(QS.An-Nisa,58).

e.Sabar
Sabar merupakan sikap terakhir ketika sudah berusaha dan bertawakal. Dalam jual beli, sifat sabar sangatlah diperlukan karena dapat membawa keberuntungan. Bagi penjual hendaklah bersabar atas semua sikap pembeli yang selalu menawar dan komplain. Hal ini dilakukan agar si pembeli merasa puas dan senang jika bertransaksi. Begitu pula dengan pembeli, sifat sabar harus ditanamkan jika ingin mendapatkan produk yang memiliki kualitas bagus plus harga murah dan tidak kena tipu.Sebagaimana keterangan dalamAlquran;Artinya: Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan. (QS. Ali Imran, 120).

B.                 Macam-macam Akad Transaksi
Menurut ulama’ fiqh, akad dapat dibagi dari beberapa segi. Namun dalam hal hal ini kami membagi akad dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’. Sehingga akad dibedakan menjadi dua, yaitu akad shahih dan akad yang tidak shahih.
1.      Akad Shahih
Akad shahih merupakan akad yang telah memenuhi syarat dan rukun. Ulama’ Madhab Hanafi dan Madhab Maliki membagi akad shahih ini dalam dua macam ;[1]
a)      Akad yang nafiz, yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b)      Akad Mauquf, merupakan akad yang dilakukan seseorang yang mampu bertindak atas kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan. Seperti akadnya anak yang masih mumayyiz tapi belum baligh sehingga dia harus mendapat izin dari wali anak itu. Menurut Madhab Syafi’i dan Hanbali, jual beli yang mauquf itu tidak sah.
Ulama’ fiqh juga membagi jual beli yang shahih dari segi mengikat atau tidak.
a.       Akad yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain. Seperti jual beli dan sewa menyewa.
b.      Akad yang tidak bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Seperti pinjam meminjam.

2.      Akad yang tidak Shahih
Akad yang tidak shahih merupakan akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syaratnya. Sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi kedua belah pihak yang melakukan akad itu. Madhab Hanafi membagi akad yang tidak shahih ini ke dalam dua macam.
a)      Akad batil, apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukun dan larangan langsung dari syara’. Seperti jual beli yang dilakukan anak kecil.
b)      Akad fasid, akad ini pada dasarnya dibenarkan tetapi sifat yang diakadkan tidak jelas seperti menjula mobil tidak disebitkan merknya, tahunnya, dan sebagainya.[2]

Di atas merupakan macam-macam akad transaksi secara umum. Adapun akad yang biasa dipakai dalam sistem ekonomi syari’ah atau lebih khusus lagi dalam perbankan syari’ah, akan dibahas pada sub bab akad transaksi implikasinya dalam operasionan perbankan syari’ah.

Hal-hal yang Membatalkan Akad Transaksi
Ulama’ fiqh menyatakan bahwa suatu akad itu dapat menjadi batal atau bisa dikatakan berakhir manakala terjadi hal-hal sebagi berikut ;
1)      Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu.
2)      Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat.
3)      Dalam suatu akad yang bersifat mengukat, akad dapt berakhir bila :
a.                   Akad itu fasid
b.                  Berlaku khiyar syarat dan khiyar aib
c.                   Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad.
d.                  Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna.
4)      Wafat salah satu pihak yang berakad
Namun, menurut M. Ali Hasan dalam buku yang berjudul Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, akad itu bisa diteruskan oleh ahli warisnya bila pewaris itu meninggal.[3]

Akad Transaksi Implikasinya dalam Operasional Perbankan Syari’ah
Dalam bank syari’ah, akad yang dilalukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan atau perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjinan tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah.
Seperti akad dalam perbankan syari’ah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, seperti :
1.      Rukun, seperti ;
a.       Penjual
b.      Pembeli
c.       Barang
d.      Harga
e.       Akad/ijab qabul

2.      Syarat, seperti ;
a)      Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi jukum syari’ah.
b)      Harga barang dan jasa harus jelas.
c)     Tempat penyerahan harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
d)     Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilika. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short sale pada pasar modal.[4]

Secara umum, dalam sistem ekonomi syariah akad dibedakan menjadi dua kelompok.
1)      Akad tabarru’ (kontrak transaksi untuk kebajikan)
Akad tabarru’ merupakan perjanjian atau kontrak yang tidak mencari keuntungan materiil. Akad ini bertujuan untuk tolong menolong dan pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil (tabarru’=bir dalam bahasa arab berarti kebaikan). Akan tetapi dalam transaksi ini diperbolehkan untuk memungut biaya transaksi yang akan habis digunakan dalam transaksi tabarru’ tersebut[5]. Maksudnya, pihak yang berbuat kebaikan terebut boleh meminta kepada counter partnya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut.[6]
Contoh dari akad/transaksi tabarru’ adalah sebagai berikut :[7]
a.       Qard
Yaitu pemberian harta jepada orang lain yang dapat ditagih kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharap imbalan.

b.      Rahn
Yaitu menahan salah satu harta milik si penminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.

c.       Hiwalah
Merupakan suatu pengalihan utang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib mennggungnya. Dan masih banyak lagi akas-akad yang tergolong dalam jenis tabarru’ ini.
Lalu dalam praktek perbankan syari’ah, transaksi tabarru’ ini dapat kita lihat dalam transaksi meminjamkan sesuatu. Yang mana objek pinjamannya dapat berupa uang (lending) atau jasa (lending yourself). Sehingga ada 3 macam akad transaksi dalam tabarru’ ini
a)      Meminjamkan uang
Dalam hal meminjamkan uang ini, ada tiga bentuk akad yang telah dijelaskan di atas, yaitu qard, rahn, dan hiwalah.
b)      Meminjamkan jasa
Dalam hal meminjamkan jasa, ada kalanya melakukan sesuatu atas nama orang lain, yang disebut dengan wakalah. Lalu, bila wakalah itu dirinci tugasnya yaitu kita menawarkan jasa kita menjadi wakil seseorang dengan tugas menyediakan jasa (penitipan, pemeliharaan) maka ini desebut wadi’ah yang. Kemudian ada juga istilah wakalah bersyarat yang disebut dengan kafalah.
c)      Memberikan sesuatu
Akad yang termasuk dalam golongan ini adalah akad-akad seperti : hibah, waqf, shadaqah, hadiah, dan lain-lain.[8]
2)      Akad tijarah (kontrak untuk transaksi yang berorientasi laba)
Telah dijelaskan pada wal tadi, berbeda dengan akad tabarru’, akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit sharing yang mana akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan. Contohnya akad investasi, jual beli, sewa menyewa, dan lain sebaginya.
Sedangkan dalam sistem operasional perbankan syari’ah yang menjadi karakteristik dasar adalah profit sharing atau yang lebih kita kenal dengan sistem bagi hasil. Salah satunya adalah mudharabah, di mana bank sebagai mudhorib (pengelola) sedangkan penabung bertindak sebagai shahibul mal (penyandang dana). Itulah salah satu transaksi perbankan syari’ah dalam hal penghimpunan dana.
Yang kedua, transaksi dalam hal pembiayaan, merupakan pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.[9] Pembiayaan dalam bank konvensional lebih kita kenal dengan kredit. Namun berbeda dengan bank syari’ah, pembiayaan tidak menggunakan konsep prosentasi dan berpedoman pada profit sharing saja tetapi lose profit sharing karena dalam sistem bagi hasil, belum tentu kita akan mendapatkan keuntungan, bisa jadi sewaktu-waktu kita mengalami kerugian.
Jadi, pada dasarnya sistem operasional perbankan syari’ah menggunakan konsep akad transaksi yang telah diajarkan oleh Islam. Implikasinya, produk-produk yang ditawarkan oleh perbankan syari’ah merupakan produk yang jauh dari unsur riba. Karena perbankan syari’ah berperan sebagai solusi yang menjawab kekhawatiran masyarakat terkait bunga bank.

C.    Kedudukan Hukum Syariah dalam Sistem Perbankan Syariah
1.      Sistem perbankan Indonesia
Sistem perbankan itu merupakan suatu tatanan yang didalamnya terdapat berbagai unsur mengenai bank, baik menyangkut kelembagaannya, kegiatan usahanya serta cara dalam melaksanakan kegiatan usahanya dengan mengikuti suatu aturan tertentu.
Untuk mengetahui sistem perbankan di Indonesia, tak lain kita harus berpacu pada UU tentang perbankan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Yang dapat disimpulkan  bahwa Perbankan Indonesia tidak hanya beroperasi dengan prinsip konvensional saja, melainkan juga dapat beroperasi dengan prinsip syariah secara berbarengan, yang biasa disebut dengan dual banking system.

2.      Bank Syariah sebagai Bagian Integral Perbankan Nasional
Sebagaimana telah disebutkan di atas tentang keleluasaan perbankan dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Bank umum dan Bank Pengkreditan Rakyat bebas memilih prinsip yang akan digunakannya, baik konvensional maupun syariah.
Akan tetapi ada perbedaan hak antara Bank umum dan Bank Pengkreditan.Bank Umum dapat beroperasi dengan dua prinsip secara berbarengan secara terpisah, tapi Bank Pengkreditan Rakyat hanya boleh memilih satu diantara dua pilihan itu.Komvensional, atau syariah.

3.      Pengaturan Bank Syariah dalam Undang - Undang Perbankan
Pengaturan mengenai bank syariah dalam UU yang telah disebutkan, tidak hanya menyangkut eksistensi dan legitimasi bank syariah dalam sistem perbankan nasional, tapi juga meliputi aspek kelembagaan dan sistem operasional perbankan syariah itu sendiri.
Dalam peraturan tersebut telah diatur sedemikian rupa mengenai bank syariah, sejak dari ketentuan mengenai syarat - syarat pendirian bank syariah, kepengurusan, bentuk hukum bank syariah, aturan mengenai konversi bank konvensional menjadi bank syariah, mengenai pembukaan kantor cabang, kegiatan usaha dan produk - produk yang dapat dilakukan, mengenai keberadaan dan fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan hubungannya dengan Dewan Syariah Nasional (DSN), mengenai pengawasan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral, hingga mengenai sanksi - sanksi pidana maupun administratif yang dapat dikenakan.


[1] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakrta : PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal 110
[2] Ibid, hal 111
[3] M. Ali Hasan, op., cit., hal 112
[4] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakrta : Gema Insani, 2001, hal 30
[5] http://punyahari.blogspot.com/2009/12/transaksi-dan-akad-dalam-ekonomi.html
[6] Ir. Adiwarman Karim, S.E, M.B.A., M.A.E.P., Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal 58
[8]. Ir. Adiwarman Karim, S.E, M.B.A., M.A.E.P., op. cit., hal 61
[9].Muhammad Syafi’I Antonio, op., cit., hal 160

Tidak ada komentar:

Posting Komentar