ISLAM IS THE BEST

Jumat, 24 Agustus 2012

Pengembangan dan Pemanfaatan Hak Milik dalam Islam


PENGEMBANGAN DAN PEMANFAATAN HAK MILIK
Oleh : Syahmiruddin Pane, S.Sos, M.A.

A.    Pendahuluan
Ekonomi Islam yang merupakan Rahmatan Lil ‘Alamin, kembali bangkit menorehkan Blue Print-nya. Keberadaannya sangat penting untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan kegagalan ekonomi konvensional. Bahkan, Ekonomi Islam memiliki prinsip dan karakteristik yang berbeda dengan sistem sekuler yang menguasai dunia saat ini.

Sebenarnya, Ekonomi Islam adalah bagian dari sistem Islam yang bersifat umum yang berlandaskan pada prinsip pertengahan dan keseimbangan yang adil (tawadzun). Islam menyeimbangkan kehidupan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat. Keseimbangan antara jasmani dan rohani, antara akal dan hati dan antara realita dan fakta merupakan keseimbangan yang ada dalam individu. Sedangkan dalam bidang ekonomi, Islam menyeimbangkan antara modal dan aktifitas, antara produksi dan konsumsi, dan sebagainya.[1]

Adapun nilai pertengahan dan keseimbangan yang terpenting, yang merupakan karya Islam dalam bidang ekonomi selain masalah harta adalah Hak Kepemilikian (Ownership Right). Dalam memandang hak milik ini Islam sangat moderat. Dan sangat bertolak belakang dengan sistem kapitalis yang menyewakan hak milik pribadi, sistem sosialis yang tidak mengakui hak milik individu.

Meskipun demikian, masalah hak milik merupakan sebuah kata yang amat peka, dan bukan sesuatu yang amat khusus bagi seorang manusia. Oleh karena itu, Islam sangat mengakui adanya kepemilikan pribadi disamping kepemilikan umum. Dan menjadikan hak milik pribadi sebagai dasar bangunan ekonomi. Dan itupun akan terwujud apabila ia berjalan sesuai dengan aturan Allah SWT, misalnya adalah memperoleh harta dengan jalan yang halal, Islam melarang keras kepemilikan atas harta yang digunakan untuk membuat kezhaliman atau kerusakan dimuka bumi.[2]

Karena begitu pentingnya aspek kepemilikan dalam bidang ekonomi, maka dalam makalah ini saya mencoba membahas dan memaparkan tentang Hak Milik (Private Ownership) dalam Islam sesuai dengan urgensinya.
      Semoga makalah ini bermanfaat bagi Penulis dan Pembaca sekalian.

B.     Konsep Islam tentang Hak Milik
Menurut ajaran Islam, Allah SWT adalah pemilik yang sesungguhnya dan mutlak atas alam semesta. Allah lah yang memberikan manusia karunia dan rezeki yang tak terhitung jumlahnya. Manusia memilikinya hanya sementara, semata-mata sebagai suatu amanah atau pemberian dari Allah. Dalam hal ini, Islam bukan hanya layanan Tuhan seperti halnya Agama Yahudi dan Nashrani, tetapi juga menyatukan aturan prilaku yang mengatur dan mengorganisir Umat manusia baik dalam kehidupan spiritual maupun material.[3]

Manusia menggunakan harta berdasarkan kebudayaan sebagai pemegang amanah dan bukan sebagai pemilik yang kekal. Karena manusia mengemban amanah mengelola hasil kekayaan di dunia, maka manusia harus bisa menjamin kesejahteraan bersama dan dapat mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah SWT.[4]

Islam mengakui hak milik pribadi dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalan yang halal. Islam melarang setiap orang menzhalimi dan merongrong hak milik orang lain dengan azab yang pedih, terlebih lagi kalau pemilik harta itu adalah kaum yang lemah, seperti anak yatim dan wanita. (Qs.Adz-zariyat:19, dan Qs.Al-Isra':26)[5]


C.    Defenisi Hak Milik
1.      Konsep Dasar Kepemilikan dalam Islam adalah Firman Allah SWT
Kepunyaan Allah lah segala apa yang ada dilangit dan dibumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada didalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki (Qs. Al-Baqarah:284).

2.      Defenisi Hak Milik Menurut Para Fuqoha
Kewenangan atas sesuatu dan kewenangan untuk menggunakannya / memanfaatkannya sesuai dengan keinginannya, dan membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut kecuali dengan alasan syari'ah.[6]

3.      Defenisi Hak Milik Menurut Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyah mendefenisikan sebagai sebuah kekuatan yang di dasari atas syari'at untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan tingkatnya. Misalnya, sesekali kekuatan itu sangat lengkap, sehingga pemilik benda itu berhak menjual atau memberikan, meminjam atau menghibahkan, mewariskan atau menggunakannya untuk tujuan yang produktif. Tetapi, sekali tempo kekuatan itu lengkap karena hak milik si pemilik itu terbatas.[7]

D.    Jenis-Jenis Hak Milik dalam Islam
1.      Hak Milik Pribadi
Hak milik pribadi adalah ketetapan hukum syara' yang berlaku bagi zat ataupun manfaat (jasa) tertentu yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi dari barang tersebut (jika barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zat-nya seperti dibeli).[8] Oleh karena itu setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan sebab-sebab (cara-cara) kepemilikan tertentu.
An-Nabhany (1990) mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehensif hukum-hukum syara' yang menentukan kepemilikan seseorang atas harta tersebut. Islam mengakui adanya hak milik pribadi, dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalur yang sah menurut Agama Islam. Dan Islam tidak melindungi kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan haram. Sehingga Imam Al-Ghazali membagi 5 jenis harta yang dilindungi oleh Islam (sah menurut Agama Islam):

Diambil dari suatu sumber tanpa ada pemiliknya, misal: barang tambang, menggarap lahan yang mati, berburu, mencari kayu bakar, mengambil air disungai, dan lain-lain. Diambil dari pemiliknya secara paksa karena ada unsur halal, misal: harta rampasan. Diambil secara paksa dari pemiliknya karena ia tidak melaksanakan kewajiban, misal: zakat. Diambil secara sah dari pemiliknya dan diganti, misalnya: jual beli dan ikatan perjanjian dengan menjauhi syarat-syarat yang tidak sesuai syari'at. Diambil tanpa diminta, misal: harta warisan setelah dilunasi hutang-hutangnya.[9]

Dalam mengakui keberadaan hak milik pribadi terdapat syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai kekuasaan individu yaitu memperhatikan masalah Umat. Islam mendorong pemilik harta untuk menyerahkan kelebihan kekayaannya kepada masyarakat / Umat setelah memenuhi kepuasan untuk diri sendiri dan keuarga (zakat). Tetapi, membatasi hak untuk menggunakan harta itu menurut kesukaannya sendiri. Hal ini dilakukan untuk perlindungan kebaikan umum dan agar moderat dalam mengakui hak pribadi. Ia mengambil sikap moderat antara mereka yang mendewakan hak milik dan mereka yang secara mutlak menafikan hak milik.

Secara individu memiliki kebebasan untuk menikmati hak miliknya, menggunakannya secara produktif, memindahkannya, melindunginya dari penyia-nyiaan harta. Tetapi, hak nya itu dibatasi oleh sejumlah limitasi tertentu yang sesuai syari'at, tentunya. Ia tidak boleh menggunakannya semena-mena, juga tidak boleh menggunakannya untuk tujuan bermewah-mewahan. Dalam bertransaksikan tidak boleh melakukan cara-cara yang terlarang. Karena manusia hanya sebagai pemegang amanah, maka sudah selayaknya ia harus sanggup menerima batasan-batasan yang dibebankan oleh masyarakat terhadap penggunaan harta benda tersebut.

Karena kepemilikan merupakan izin Al-Shari' untuk memanfaatkan suatu benda, maka kepemilikan atas suatu benda tidak semata berasal dari benda itu sendiri ataupun karena karakter dasarnya, semisal bermanfaat atau tidak. Akan tetapi ia berasal dari adanya izin yang diberikan oleh Al-Shari' serta berasal dari sebab yang diperbolehkan Al-Shari' untuk memilikinya (seperti kepemilikan atas rumah, tanah, ayam dan sebagainya bukan minuman keras, babi, ganja, dan sebagainya), sehingga melahirkan akibatnya yaitu adanya kepemilikan atas benda tersebut.[10]

Batasan tersebut semata-mata untuk mencegah kecenderungan sebagian pemilik harta benda yang bertindak sewenang-wenang (eksploitasi) dalam masyarakat. Pemilik harta yang baik adalah bertenggang rasa dalam menikmati hak mereka dengan bebas tanpa dibatasi dan dipengaruhi oleh kecenderungan diatas sehingga dapat mencapai keadilan sosial dalam masyarakat.

2.      Hak Milik Umum (Kolektif)
Type kedua dari hak milik adalah kepemilikan secara umum (kolektif). Konsep hak milik umum pada mulanya digunakan dalam Islam dan tidak terdapat pada masa sebelumnya. Hak milik dalam Islam tentu saja memiliki makna yang sangat berbeda dan tidak memiliki persamaan langsung dengan apa yang dimaksud dengan sistem kapitalitas, sosialitas dan komunitas. Maksudnya, type ini memiliki bentuk yang berbeda-beda. Misalnya: semua benda-benda yang dimiliki komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja.[11] Sebagian dari benda yang memberikan manfaat besar pada masyarakat berada dibawah pengawasan umum, sementara sebagaian yang lain diserahkan kepada individu. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik masyarakat dengan milik individu secara keseluruhan berdasarkan kepentingan umum. Contoh lain, tentang pemilikan harta kekayaan secara kolektif adalah wakaf.

Dari pengertian diatas, maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
Benda-benda yang merupakan fasilitas umum, karena menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan.[12] Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Rasulullah Saw telah menjelaskan dalam sebuah hadits bagaimana sifat fasilitas umum tersebut. Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw bersabda: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang yaitu : air, padang rumput, dan api". (HR. Abu Daud).

Anas r.a. meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. tersebut dengan menambahkan: "wa tsamanuhu harama" (dan harganya haram), yang berarti dilarang untuk diperjual-belikan, Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw bersabda: "Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapapun) yaitu air, padang rumput, dan api". (HR. Ibnu Majah).

Oleh karena itu, jelaslah bahwa sesuatu yang merupakan kepentingan umum adalah apa saja yang kalau tidak terpenuhi dalam suatu komunitas, apapun komunitasnya, semisal komunitas pedesaan, perkotaan, ataupun suatu Negeri, maka komunitas tersebut akan bercerai-berai guna mendapatkannya. Oleh karena itu, benda tersebut dianggap sebagai fasilitas umum.

Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan. Sebagaimana hadits Nabi:
ﻤَﻦْ ﻤُﻨَﺎﺥُ ﻤِﻨًﻰ ﺴَﺒَﻖَ   
"Kota Mina menjadi tempat mukim siapa saja yang lebih dahulu (sampai kepadanya)" (HR. At-Tirmidzi, Ibn Majah dan Al-Hakim dari 'Aisyah).[13]

Yang juga dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum adalah benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah hanya dimiliki oleh pribadi. Hal ini karena benda-benda tersebut merupakan benda yang tercakup kemanfaatan umum (kelompok pertama diatas). Yang termasuk kedalam kelompok ini adalah jalan raya, sungai, Masjid dan fasilitas umum lainnya. Benda-benda ini dari segi bahwa merupakan fasilitas umum adalah hampir sama dengan kelompok pertama.

Namun meskipun benda-benda tersebut seperti jenis yang pertama, namun benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama, dari segi sifatnya bahwa benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Barang-barang kelompok pertama dapat dimiliki oleh individu jika jumlahnya kecil dan tidak menjadi sumber kebutuhan suatu komunitas. Misalnya, sumur air, mungkin saja dimiliki oleh individu, namun jika sumur air tersebut dibutuhakan oleh suatu komunitas maka individu tersebut dilarang memilikinya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah Masjid, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya.

Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar. Barang tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bahan tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya, yang tidak termasuk berjumlah besar menurut ukuran individu, serta bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya. Barang tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara pribadi dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang temuan), yang darinya harus dikeluarkan khumus, yakni  bagiannya ().

Dalil yang digunakan dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini adalah hadits Nabi riwayat Abu Daud tentang Abyad Ibn Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang garam didaerah Ma'rab:

ﺃَﻧﱠﻪُ ﻭَﻓَﺪَ ﺇﻟﱠﻰ ﺭَﺳُﻮْﻝِﷲِ ﺼَﻟﱠﻰﷲُ ﻋَﻟَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻟﱠﻢَ ﻓَﺎﺳْﺗَﻘْﻄَﻌَﻪُ ﺍْﻟﻤِﻟْﺢَ ﻓَﻘَﻄَﻌَﻪُ ﻟَﻪُ ﻓَﻟَﻤﱠﺎ ﺃﻥْ ﻭَﻟﱠﻰ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻤَﺠْﻟِﺲِ ﺃﺗَﺪْﺭِﻱْ ﻣَﺎﻗَﻄَﻌْﺖَ ﻟَﻪُ ٳﻨﱠﻣَﺎ ﻗَﻄَﻌْﺖَ ﻟَﻪُ ﺍْﻟﻣَﺎﺀَ ﺍْﻟﻌِﺪﱠ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﺎﻧْﺘَﺰَﻉَ ﻣِﻨْﻪُ
“Bahwa ia datang kepada Rasulullah Saw meminta (tambang) garam, maka Beliau-pun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Beliau: “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir” Lalu ia berkata: “Kemudian Rasulullah-pun menarik kembali tambang itu darinya”. (HR. Abu Daud).[14]

Adapun bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Imam At-Tarmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah Saw untuk dibolehkan mengelola sebuah tambang garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya:[15] "Wahai Rasulullah, tahukan engkau apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir". Rasulullah kemudian menarik kembali tambang tersebut darinya. (HR. At-Tirmidzi).

Hadits tersebut menyerupakan tambang garam dengan air yang mengalir, karena jumlahnya yang sangat besar. Hadits ini juga menjelaskan bahwa Rasulullah Saw memberikan tambang garam kepada Abyadh bin Hamal yang menunjukkan kebolehan memiliki tambang. Namun, tatkala Beliau mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang mengalir (jumlahnya sangat besar), maka Beliau mencabut pemberiannya dan melarang dimiliki oleh pribadi, karena tambang tersebut merupakan milik umum.

3.      Hak Milik Negara
Harta-harta yang termasuk milik Negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum Muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang Negara, dimana Negara dapat memberikan kepada sebagian warga Negara, sesuai dengan kebijaksanaannya. Makna pengelolaan Negara ini adalah kekuasaan yang dimiliki Negara untuk mengelolanya semisal harta fa'i, kharaj, jizyah dan sebagainya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.[16]

Menurut Ibn Taimiyah, sumber utama kekayaan Negara adalah zakat, barang rampasan perang (ghanimah). Selain itu, Negara juga meningkatkan sumber penghasilan dengan mengenakan pajak Warga Negaranya, ketika dibutuhkan atau kebutuhannya meningkat. Demikian pula berlaku bagi kekayaan yang tak diketahui pemiliknya, wakaf, hibah dan pungutan denda termasuk sumber kekayaan Negara.[17]

Kekayaan Negara secara aktual merupakan kekayaan umum. Kepala Negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah. Dan merupakan kewajiban Negara untuk mengeluarkannya guna kepentingan umum. Oleh karena itu sangat dilarang penggunaan kekayaan Negara yang berlebih-lebihan. Adalah merupakan kewajiban Negara melindungi hak fakir miskin, bekerja keras bagi kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial dan mengurangi jurang pemisah dalam hal distribusi pendapatan.

E.     PENGEMBANGAN HAK MILIK
1.      Pengelolaan Kepemilikan
Pengelolaan kepemilikan adalah sekumpulan tatacara (kaifiyah) yang berupa hukum-hukum syara' yang wajib dipegang seorang Muslim tatkala ia memanfaatkan harta yang dimilikinya (Abdullah 1990).[18]

Mengapa seorang Muslim wajib menggunakan cara-cara yang dibenarkan Asy-Syari' (Allah SWT) dalam mengelola harta miliknya? Sebab, harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Maka dari itu, ketika Allah telah menyerahkan kepada manusia untuk menguasai harta, artinya adalah hanya melalui izin-Nya saja seorang Muslim akan dinilai sah memanfaatkan harta tersebut. Izin Allah itu terwujud dalam bentuk sekumpulan hukum-hukum syara'.

Walhasil, setiap Muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam pengelolaan harta yang telah dimilikinya seorang tersebut, ia wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan syara' yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan.

Secara garis besar, pengelolaan kepemilikan mencakup dua kegiatan. Pertama, pembelanjaan harta (infaqul mal). Kedua, pengembangan harta (tanmiyatul mal).[19]




2.      Pengembangan Harta
Pengembangan harta (tanmiyatul mal) adalah kegiatan yang memperbanyak jumlah harta yang telah dimiliki (An-Nabhani, 1990). Seorang Muslim yang ingin mengembangkan harta yang telah dimiliki, wajib terikat dengan ketentuan Islam berkaitan dengan pengembangan harta. Secara umum Islam memberikan tuntunan pengembangan harta melalui cara-cara yang sah seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang Islami dalam bidang pertanian, perindustrian, maupun perdagangan. Selain Islam juga melarang mengembangkan harta yang terlarang seperti dengan jalan aktifitas riba, judi, serta aktifitas terlarang lainnya.

Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum (collective property) itu adalah hak Negara, karena Negara adalah wakil Umat. Meskipun menyerahkan kepada Negara untuk mengelolanya, namun Allah SWT telah melarang Negara untuk mengelola kepemilikan umum (collective property) tersebut dengan jalan menyerahkan penguasaannya kepada orang tertentu. Sementara mengelola dengan selain dengan cara tersebut diperbolehkan, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara'.[20]

Adapun pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan Negara (state property) dan kepemilikan individu (private property), nampak jelas dalam hukum-hukum baitul mal serta hukum-hukum mu'amalah, seperti jual-beli, gadai (rahn), dan sebagainya. As-Syari' juga telah memperbolehkan Negara dan individu untuk mengelola masing-masing kepemilikannya, dengan cara lain, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara'.

F.     KESIMPULAN dan PENUTUP
Islam mengakui adanya hak milik pribadi (individu) dan memperbolehkan usaha-usaha serta inisiatif individu didalam menggunakan dan mengelola harta pribadinya. Islam juga telah memberikan batasan-batasan tertentu sesuai syari'at sehingga seseorang dapat menggunakan harta pribadinya tanpa merugikan kepentingan umum.

Sebenarnya kerangka sistem Islam secara keseluruhan ini dibentuk berdasarkan kebebasan individu didalam mencari dan memiliki harta benda dan campur tangan pemerintah (intervensi) yang sangat terbatas hanya terhadap harta yang sangat diperlukan oleh masyarakat, selain itu tidak.

Namun, ada beberapa kepentingan umum yang tidak bisa dikelola dan dimiliki secara perorangan (KA, POS, Listrik, Air, dan sebagainya), tapi semua itu menjadi milik dan dikelola oleh Negara untuk kepentingan umum.

Kemudian terdapat perbedaan sifat hak milik, baik itu pribadi maupun umum, yang terdapat dalam Islam dengan kapitalis dan komunis. Didalam kapitalis, hak milik individu adalah mutlak tak terbatas. Dalam komunis, hak milik diabaikan sama sekali. Sedangkan didalam Islam, hak individu itu berada dalam keadaan norma, bukan tak terbatas seperti yang terdapat dalam kapitalis, ataupun ditekan sama sekali seperti yang terdapat dalam komunis. Inilah sisi kemoderatan Islam dalam memandang hak milik.














DAFTAR PUSTAKA

  1. Al-Qur'an Al-Karim
  2. http://dimel2002.multiply.com/journal/item/11.
3.                              Lativa M. Algoud, Mervyn K Lewis, Perbankan Syari'ah, Terj. Burhan W. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003). H.49.
  1. http://jurnal-ekonomi.org/2004/01/19/asas-asas-ekonomi-Islam/
  2. Al-Nabhany, al-Nizam al-Iqtisadi.
  3. Al-Jami' al-Saghir, jil 2.
  4. Al-Shawkani, Nayl al-Awtar, jil 6.


[2] Ibid.
[3] Lativa M. Algoud, Mervyn K Lewis, Perbankan Syari'ah, Terj. Burhan W. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003). H.49.
[5] Ibid.
[7] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Al-Nabhani, al-Nizam al Iqtisadi, 72-73.
[11] Al-Nabhani, al-Nizam al Iqtisadi, 213.
[12] Al-Nabhani, al-Nizam al Iqtisadi, 213.
[13] Lihat: al-Jami' al-Saghir, jil 2, 183.
[14] Al-Shawkani, Nayl al-Awtar, jil 6, 53.
[16] Al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi, 218.
[19] Ibid.

Islam dan Ekonomi


 ISLAM DAN EKONOMI
Oleh : Syahmiruddin Pane,S.Sos, M.A.
A.   PENDAHULUAN
Alquran dan Hadis Rasulullah Saw merupakan sumber tuntunan hidup bagi kaum Muslimin untuk menjalani kehidupan di dunia dan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Alquran dan Hadis sebagai penuntun memiliki daya jangkau yang luas, meliputi segenap aspek kehidupan Umat manusia. Salah satu bukti bahwa Alquran dan Hadis tersebut mempunyai daya jangkau yang luas dapat dilihat dari segi teksnya yang selalu tepat untuk diimplikasikan dalam kehidupan nyata. Misalnya dalam bidang perekonomian, sejak awal Allah SWT tidak hanya menyuruh kita salat dan puasa saja, tetapi juga mencari nafkah secara halal.
Krisis moneter melanda dimana-mana, tak terkecuali di Negeri kita tercinta ini. Para ekonom dunia sibuk mencari sebab-sebabnya dan berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan perekonomian di negaranya masing-masing. Krisis ekonomi telah menimbulkan banyak kerugian, meningkatnya pengangguran, meningkatnya tindak kejahatan dan sebagainya. Sistem ekonomi kapitalis dengan sistem bunganya diduga sebagai penyebab terjadinya krisis. Sistem ekonomi Islam mulai dilirik sebagai suatu pilihan alternatif, dan diharapkan mampu menjawab tantangan dunia di masa yang akan datang. Alquran telah memberikan beberapa contoh tegas mengenai masalah-masalah ekonomi yang menekankan bahwa ekonomi adalah salah satu bidang perhatian Islam.

B.   LATAR BELAKANG MASALAH
1.    Islam
Dasar-dasar dan pokok-pokok7a~aran Islam adalah penting dan tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Pada hakekatnya dasar-dasar ajaran Islam membicarakan kerangka umum dari ajaran Islam. Jika Islam diibaratkan sebuah bangunan, dengan melihat dasar-dasar ajaran Islam orang sudah bisa mengetahui bagaimana bentuk bangunan Islam yang utuh. Adapun yang menjadi dasar-dasar ajaran Islam yaitu: Aqidah, Syariah, Akhlaq dan Jihad.[1]
Nomor dasar Islam di bidang ekonomi dapat diungkapkan dalam doa sehari-hari:
          Artinya:
"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".(Al-Baqarah{2}: 201)[2]

Selain dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam, ada juga karakteristik-karakteristik yang membahas tentang ciri-ciri khas ajaran Islam, sehingga Islam menjadi suatu al-din (agama) yang memiliki keistimewaan dan kelebihan serta menjadikannya berbeda dengan Agama-Agama, kepercayaan-kepercayaan dan konsep-konsep hidup. Jika orang-orang Muslim tidak memiliki wawasan tentang ciri-ciri khas umum ajaran Islam, maka tidak kecil kemungkinan orang tersebut bisa terjebak pada persepsi yang keliru terhadap ajaran Islam. Bahkan lebih dari itu, ia bisa terperosok kedalam pelaksanaan ajaran Islam yang ada.[3]
Adapun yang menjadi karakteristik-karakteristik umum dari ajaran Islam adalah:

1.    Shafaa'u Al-Aqidah (Kebersihan Aqidah)
Seluruh rangkaian ajaran Islam bertumpu pada landasan yang kuat yaitu Aqidah Al-Islamiah. Aqidah ini diawali dengan suatu keyakinan terhadap adanya Allah sebagai pencipta, pemilik, pemelihara alam semesta ini. Dan kepercayaan bahwa Dia adalah Dzat Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Oleh karena itu, esensi Aqidah Islamiah terangkum dalam kalimat  ﷲُ  ﺇﻻﱠ  ﺇﻟٰﻪَ  ﻻَ  yang artinya tidak ada tempat mengabdi kecuali Allah.

2.    Al-Syumul (menyeluruh)
Islam merupakan ajaran yang menyeluruh baik dari segi masa berlakunya, Umat dan wilayah yang menjadi sasaran jangkauan ajaran Islam maupun muatan yang terkandung di dalamnya. Pengertian menyeluruh dari segi masa berlakunya Islam ialah ajaran Islam berlaku untuk seluruh zaman dan setiap generasi.
Sedangkan pengertian Islam menyeluruh dari segi Umat dan wilayah yang menjadi jangkauan sasaran ajaran Islam ialah bahwa ajaran Islam ditujukan untuk seluruh Umat manusia. Adapun maksud dari pernyataan bahwa Islam itu menyeluruh dari segi muatan yang terkandung di dalamnya adalah bahwa isi ajaran Islam meliputi seluruh aspek dan sisi-sisi kehidupan manusia. Islam menata dan mengajarkan mulai dari masalah manusia yang paling kecil hingga urusan manusia yang berskala besar. Dari urusan yang bersifat individu, maupun masyarakat serta yang bersifat kenegaraan, dari segi ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, ideologi serta pertahanan dan keamanan (jihad).

3.    Al-Tawazun
Bila kita perhatikan alam semesta ciptaan Allah SWT dengan segala isinya maka seluruhnya tampak seimbang dan harmonis. Diantaranya, dengan terdapatnya sejumlah ciptaan Allah yang berpasng-pasangan, ada malam dan ada siang, ada gelap dan ada cahaya, ada panas dan ada dingin, ada air dan ada api, begitu pula Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai pasangan. Harmonisnya Islam juga tampak dalam wujud bagaimana Islam memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan akal dengan tidak mengabaikan satupun. Demikian juga dalam hal menyeimbangkan kepentingan individu dan masalah umum.

2.    Ekonomi
Dalam kehidupan sehari-hari setiap individu, ataupun masyarakat secara keseluruhan akan selalu menghadapi persoalan-persoalan yang bersifat ekonomi, yaitu persoalan yang menghendaki seorang ataupun suatu masyarakat membuat keputusan tentang cara yang baik untuk melakukan kegiatan ekonomi.[4]
Ilmu ekonomi lahir sebagai sebuah disiplin ilmiah setelah berpisahnya aktivitas produksi dan konsumsi. Ekonomi merupakan aktivitas yang boleh dikatakan sama halnya dengan keberadaan manusia dimuka bumi ini, sehingga kemudian timbul motif ekonomi, yaitu keinginan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Prinsip ekonomi adalah langkah yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhannya dengan pengorbanan tertentu untuk memperoleh hasil yang maksimal.[5]

Defenisi yang dikemukakan oleh Alfred Marshall yang dikutip oleh Richard G Lipsey dalam buku yang ditulis oleh A. Qodri Azizy mengemukakan bahwa “Economics is The Study Of The Use Of Scarce Resources To Satisfy Unlimited Human Wants”, yang artinya ilmu ekonomi adalah study mengenai penggunaan sumber daya yang jarang untuk memuaskan keinginan manusia yang tidak terbatas. Defenisi lain disebutkan bahwa “Economics Is a Study Of Mankind In The Ordinary Business Of Life”, yang artinya ilmu ekonomi adalah study orang dalam kebiasaan hidup bisnis yang biasa berjalan.[6] Sedangkan ekonomi konvensional didefenisikan sebagai ilmu sosial yang membahas problem mengenai penggunaan atau pengaturan sumber daya yang terbatas untuk memperoleh pemenuhan terbesar dan secara maksimum dari kebutuhan manusia yang tidak terbatas.

Dari tiga defenisi diatas jelaslah bahwa ekonomi konvensional atau sekuler sama sekali tidak mengaitkan studi yang dilakukan dalam kerangka ilmu ekonomi dengan keberadaan Tuhan, termasuk syariah-Nya. Jadi jelaslah ilmu ekonomi konvensional disini identik dengan ekonomi sekuler yang dengan jelas pula ada perbedaan mendasar antara ekonomi jenis ini dengan ekonomi yang berpegang pada syariah Allah SWT.

C.    HUBUNGAN ISLAM DENGAN EKONOMI
Ekonomi Islam dibangun atas dasar Agama Islam, karena itu akan merupakan bagian tak terpisahkan dari Agama Islam. Bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal, yaitu : Tauhid (Keimanan), ‘Adl (Keadilan), Nubuwwah (Kenabian), Khilafah (Pemerintahan), Ma'ad (Hasil). Nilai-nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk membangun teori-teori ekonomi Islam.[7] Untuk memahami hubungan antara Agama Islam dan perilaku ekonomi maka harus dipelajari bidang dan lingkup masing-masing. Islam mendefenisikan Agama bukan hanya berkaitan dengan spiritualitas atau ritualitas, namun Agama merupakan serangkaian keyakinan, ketentuan dan peraturan serta tuntunan moral bagi setiap aspek kehidupan manusia. Islam memandang Agama sebagai suatu jalan hidup yang melekat pada setiap aktivitas kehidupan, baik ketika manusia melakukan hubungan ritual dengan Tuhan maupun ketika manusia berinteraksi dengan sesama manusia atau alam semesta.

Sedangkan ekonomi secara umum didefenisikan sebagai hal yang mempelajari prilaku manusia yang menggunakan sumber daya yang langka untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan manusia. Dengan demikian, ekonomi merupakan suatu bagian dari Agama. Islam memandang aktivitas ekonomi secara positif. Semakin banyak manusia terlibat dalam aktivitas ekonomi maka semakin baik, sepanjang tujuan dari prosesnya sesuai dengan ajaran Islam. Ruang lingkup ekonomi meliputi suatu bidang prilaku manusia terkait dengan konsumsi, produksi, dan distribusí.

Islam sebagai suatu Agama yang disahkan pada ajaran kitab Alquran dan Hadis, memberikan banyak contoh ajaran ekonomi, baik pada masa awal Islam diturunkan bahkan sampai sekarang. Sebagai contoh, pada masa Ibrahim a.s., Islam telah mengajarkan untuk berderma. Pada masa Shu’aib a.s., Islam mengajarkan agar manusia berbuat adil dalam memberikan takaran, menimbang dengan benar dan tidak merugikan orang lain. Tepatilah ketika kamu manakar dan jangan sampai kamu menjadi orang-orang yang merugi. Timbanglah dengan timbangan yang tepat. Jangan kamu rugikan hak-hak orang (lain) dan janganlah berbuat jahat dan menimbulkan kerusakan di muka bumi.[8]

D.   KEGIATAN EKONOMI DALAM PANDANGAN ISLAM
Kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam merupakan tuntunan kehidupan. Islam memposisikan kegiatan ekonomi sebagai salah satu aspek penting untuk mendapatkan kemuliaan (falah), dan karenanya kegiatan ekonomi sebagaimana kegiatan lainnya perlu dituntun dan dikontrol agar berjalan seirama dengan ajaran Islam. Kegiatan ekonomi merupakan bagian dari mu'amalah dan harus didasarkan atas aqidah yang benar, sehingga menghasilkan kegiatan ekonomi yang berakhlaq atau bermoral. Kegiatan ekonomi hanya akan mampu membawa kepada falah selama dilaksanakan berdasarkan aqidah Islam dan diwarnai dengan moral Islam.[9]

Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah, Rasulullah Saw mengemukakan, "Berusahalah untuk memperoleh kehidupan dengan cara yang halal, merupakan suatu kewajiban sesudah kewajiban salat". Allah juga berfirman. "Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan". (QS. An-Naba' {78}:11)[10]

Berdasarkan ungkapan Alquran dan Hadis tersebut jelas menunjukkan bahwa harta (kekayaan materi) merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslimin. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Islam tidak menghendaki umatnya hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan ekonomi. Islam juga tidak menghendaki pemeluknya menjadi miskin ekonomi yang melahirkan budaya materialisme. Kegiatan ekonomi dalam Islam tidak semata-mata bersifat materi saja, tetapi lebih dari itu.

Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dikemukakan "Demi Allah, aku tidak mengkhawatirkan kemiskinanmu, tetapi lebih mengkhawatirkan akan kemewahan duniawi yang kamu peroleh. Lalu kamu saling berlomba mengadakan persaingan diantara sesama sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang sebelum kamu dan telah diberikan kemewahan juga. Hal itu akan membinasakan kamu sebagaimana ia telah membinasakan mereka". Allah juga berfirman dalam Alquran: "Siapa yang menghendaki keuntungan duniawi saja, maka kami berikan keuntungan itu kepadanya, dan dia tidak akan mendapatkan apapun di akhirat kelak".(QS.Al-Syura {42}:20)[11]

E.    ATURAN-ATURAN PERMAINAN EKONOMI ISLAM
Dalam menjalankan kehidupan ekonomi, Allah SWT telah menetapkan aturan-aturan dan batasan-batasan tertentu terhadap prilaku manusia sehingga menguntungkan satu individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya. Berlakunya aturan-aturan ini membentuk lingkungan dimana para individu melakukan kegiatan ekonomi mereka. Oleh karena itu, telah ditetapkan aturan-aturan tertentu yang mengatur dan menentukan bentuk dan intensitas kegiatan-kegiatan manusia dalam memperoleh kekayaan. Hal ini begitu dibatasi sehingga serasi dengan kedamaian dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pada tahap manapun tidak ada kegiatan ekonomi yang bebas dari beban pertimbangan moral.

Dalam kitab suci Alquran dikatakan: "Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu". (QS. Al-Baqarah {2} : 168)[12] Aturan-aturan itu bersumber pada kerangka konseptual masyarakat dalam hubungannya dengan kekuatan tertinggi (Tuhan), kehidupan, sesama manusia didunia, sesama makhluk dan tujuan akhir manusia.
Beberapa aturan-aturan dalam pandangan ekonomi Islam antara lain:
$  Alam semesta, termasuk manusia, adalah milik Allah SWT
$  Allah telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap prilaku manusia sehingga menguntungkan hak-hak individu-individu lainnya
$  Semua manusia tergantung pada Allah
$  Status Khalifah atau pengemban amanah Allah berlaku umum bagi semua manusia
$  Individu-individu memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia
$  Individu-individu memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia
$  Dalam Islam, bekerja dikenal sebagai kebaikan, dan kemalasan dikenal sebagai kejahatan
$  Kehidupan adalah proses dinamis menuju peningkatan
$  Jangan membikin mudharat (kesulitan) dan jangan ada mudharat
$  Suatu kebaikan dalam perangkat kecil jelas dirumuskan[13]

F.    PERBEDAAN DASAR SISTEM EKONOMI ISLAM DAN KONVENSIONAL
Berbicara tentang Islam, ekonomi Islam dan sistem ekonomi konvensional tidak bisa dilepaskan dari perbedaan pendapat mengenai halal-haramnya bunga yang oleh sebagian Ulama dianggap sebagai riba yang diharamkan oleh Alquran. Manfaat uang dalam berbagai fungsí baik sebagai alat penukar, alat penyimpan kekayaan dan pendukung peralihan dari sistem barter ke sistem perekonomian uang, oleh para penulis Islam telah diakui, tetapi riba mereka sepakati sebagai konsep yang harus dihindari dalam perekonomian.
Sistem bunga dalam perbankan (rente stelsel) mulai diyakini oleh sebagian ahli sebagai faktor yang mengakibatkan semakin buruknya situasi perekonomian dan sistem bunga sebagai faktor penggerak investasi dan tabungan dalam perekonomian Indonesia, sudah teruji bukan satu-satunya cara terbaik mengatasi lemahnya ekonomi rakyat. Larangan riba dalam Islam bertujuan membina suatu bangunan ekonomi yang menetapkan bahwa modal itu tidak dapat bekerja dengan sendirinya, dan tidak ada keuntungan bagi modal tanpa kerja dan tanpa penempatan diri pada resiko sama sekali. Karena itu Islam secara tegas menyatakan perang terhadap riba dan Umat Islam wajib meninggalkannya (QS. Al-Baqarah {2} : 278), akan tetapi Islam menghalalkan mencari keuntungan.

Perbedaan dasar antara ekonomi Islam dan konvensional dapat dilihat dari beberapa sudut, yaitu:

1.    Sumber (Epistemology)
Kedudukan sumber yang mutlak yaitu Alquran dan Hadis menjadikan Islam sebagai suatu Agama yang istimewa dibandingkan dengan Agama-Agama lain. Alquran dan Hadis menyuruh kita mempraktekkan ajaran wahyu tersebut dalam semua aspek kehidupan termasuk soal mu'amalah. Perkara-perkara mu'amalah dijelaskan didalam wahyu meliputi suruhan dan larangan. Sumber rujukan untuk manusia dalam semua keadaan termasuk persoalan ekonomi bertujuan untuk mencapai keseimbangan rohani dan jasmani manusia yang berasaskan Tauhid.

Sedangkan ekonomi konvensional tidak bersumber atau berlandaskan wahyu. Oleh karena itu, ia lahir dari pemikiran manusia yang bisa berubah berdasarkan waktu atau masa. Karena itu pakar ekonomi Islam bertujuan untuk mencapai al-falah di dunia dan di akhirat, sedangkan pakar ekonomi konvensional mencoba menyelesaikan segala permasalahan yang timbul tanpa ada pertimbangan mengenai soal ke-Tuhan-an dan keakhiratan, tetapi lebih mengutamakan untuk kemudahan manusia di dunia saja.

2.    Tujuan Kehidupan
Tujuan ekonomi Islam membawa kepada konsep al-falah (kejayaan) di dunia dan akhirat, sedangkan ekonomi konvensional (sekuler) untuk kepuasan di dunia saja. Ekonomi Islam meletakkan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini dimana segala yang ada di bumi dan di langit diperuntukkan untuk manusia.
         
          Firman Allah SWT dalam Alquran:
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya), (QS. An-Nahl {16} : 12), dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran”. (QS. An-Nahl {16} : 13)[14]

3.    Konsep Harta sebagai Washilah
              Didalam Islam, harta bukanlah merupakan tujuan hidup tetapi sekedar washilah atau perantara dalam mewujudkan perintah Allah SWT. Maka dari itu harta bukanlah tujuan utama kehidupan tetapi adalah sebagai jalan bagi tercapainya ketenangan hidup didunia dan diakhirat. Ini berbeda dengan ekonomi konvensional yang meletakkan keduniaan sebagai tujuan yang tidak mempunyai kaitan dengan Tuhan dan akhirat sama sekali. Ini sudah tentu berlawanan dengan Islam. Untuk merealisasikan tujuan hidup menurut aliran konvensional ini, mereka membentuk sistem-sistem yang mengikuti selera nafsu mereka guna memuaskan kehendak material mereka semata. Oleh karena itu, sistem konvensional mempunyai tujuan keuntungan tanpa memperdulikan nilai wahyu, dan mengutamakan kepentingan individu atau golongan tertentu serta menindas golongan atau individu yang lemah dan berprinsip siapa kuat dialah yang berkuasa.

G.   PENUTUP
Dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam adalah penting dan tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Adapun yang menjadi dasar-dasar ajaran Islam yaitu: Aqidah, Syariah, Akhlaq dan Jihad. Selain dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam, ada juga karakteristik- karakteristik umum ajaran Islam yang membahas tentang ciri-ciri khas ajaran Islam, sehingga Islam menjadi suatu al-din (agama) yang memiliki keistimewaan dan kelebihan serta menjadikannya berbeda dengan Agama-Agama.
Kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam merupakan tuntunan kehidupan. Islam memposisikan kegiatan ekonomi sebagai salah satu aspek penting untuk mendapatkan kemuliaan (falah), dan karenanya kegiatan ekonomi sebagaimana kegiatan lainnya perlu dituntun dan dikontrol agar berjalan seirama dengan ajaran Islam. Perbedaan dasar antara ekonomi Islam dan konvensional dapat dilihat dari beberapa sudut, yaitu: Sumber (Epistemology), Tujuan Kehidupan dan Konsep Harta sebagai Washilah.




























DAFTAR PUSTAKA

Qadri, Azizy A.  Membangun Pondasi Ekonomi Umat, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004).
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, (Surabaya: Mega Jaya Abadi,2007).
Kamal, Mustafa, Wawasan Islam dan Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1997).

Karim, Adiwarman A. Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008).
Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2004).
Mannan, M.A. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa,1997).
Nasution, Mustafa Edwin,dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana,2007).
P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008).
Saleh, H.E. Hassan (Editor), Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008).
Sukirno, Sadono, Mikro Ekonomi Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Gara Grafindo Persada, 2006).
http://www.uin malang.ac.id





[1] Mustafa kamal, Wawasan Islam dan Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1997) hal,3-9.
[2] H.E. Hassan Saleh (Editor), Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008), hal.377.
[3] Mustafa kamal, Wawasan Islam dan Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1997) hal,11.
[4] Sadodo Sukirno, Mikro Ekonomi Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Gara Grafindo Persada, 2006), hal.4.
[5] http://www.uin malang.ac.id
[6] A. Qadri Azizy, Membangun Pondasi Ekonomi Umat, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004), hal.189.
[7] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal.34.
[8] P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 14.
[9] P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 16.
[10] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2004), hal.1-2.
[11] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2004), hal.3.
[12] M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa,1997), hal.22.
[13] Mustafa Edwin Nasution,dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana,2007), hal.3-7.
[14] Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, (Surabaya: Mega Jaya Abadi,2007).