ISLAM IS THE BEST

Jumat, 24 Agustus 2012

Pengembangan dan Pemanfaatan Hak Milik dalam Islam


PENGEMBANGAN DAN PEMANFAATAN HAK MILIK
Oleh : Syahmiruddin Pane, S.Sos, M.A.

A.    Pendahuluan
Ekonomi Islam yang merupakan Rahmatan Lil ‘Alamin, kembali bangkit menorehkan Blue Print-nya. Keberadaannya sangat penting untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan kegagalan ekonomi konvensional. Bahkan, Ekonomi Islam memiliki prinsip dan karakteristik yang berbeda dengan sistem sekuler yang menguasai dunia saat ini.

Sebenarnya, Ekonomi Islam adalah bagian dari sistem Islam yang bersifat umum yang berlandaskan pada prinsip pertengahan dan keseimbangan yang adil (tawadzun). Islam menyeimbangkan kehidupan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat. Keseimbangan antara jasmani dan rohani, antara akal dan hati dan antara realita dan fakta merupakan keseimbangan yang ada dalam individu. Sedangkan dalam bidang ekonomi, Islam menyeimbangkan antara modal dan aktifitas, antara produksi dan konsumsi, dan sebagainya.[1]

Adapun nilai pertengahan dan keseimbangan yang terpenting, yang merupakan karya Islam dalam bidang ekonomi selain masalah harta adalah Hak Kepemilikian (Ownership Right). Dalam memandang hak milik ini Islam sangat moderat. Dan sangat bertolak belakang dengan sistem kapitalis yang menyewakan hak milik pribadi, sistem sosialis yang tidak mengakui hak milik individu.

Meskipun demikian, masalah hak milik merupakan sebuah kata yang amat peka, dan bukan sesuatu yang amat khusus bagi seorang manusia. Oleh karena itu, Islam sangat mengakui adanya kepemilikan pribadi disamping kepemilikan umum. Dan menjadikan hak milik pribadi sebagai dasar bangunan ekonomi. Dan itupun akan terwujud apabila ia berjalan sesuai dengan aturan Allah SWT, misalnya adalah memperoleh harta dengan jalan yang halal, Islam melarang keras kepemilikan atas harta yang digunakan untuk membuat kezhaliman atau kerusakan dimuka bumi.[2]

Karena begitu pentingnya aspek kepemilikan dalam bidang ekonomi, maka dalam makalah ini saya mencoba membahas dan memaparkan tentang Hak Milik (Private Ownership) dalam Islam sesuai dengan urgensinya.
      Semoga makalah ini bermanfaat bagi Penulis dan Pembaca sekalian.

B.     Konsep Islam tentang Hak Milik
Menurut ajaran Islam, Allah SWT adalah pemilik yang sesungguhnya dan mutlak atas alam semesta. Allah lah yang memberikan manusia karunia dan rezeki yang tak terhitung jumlahnya. Manusia memilikinya hanya sementara, semata-mata sebagai suatu amanah atau pemberian dari Allah. Dalam hal ini, Islam bukan hanya layanan Tuhan seperti halnya Agama Yahudi dan Nashrani, tetapi juga menyatukan aturan prilaku yang mengatur dan mengorganisir Umat manusia baik dalam kehidupan spiritual maupun material.[3]

Manusia menggunakan harta berdasarkan kebudayaan sebagai pemegang amanah dan bukan sebagai pemilik yang kekal. Karena manusia mengemban amanah mengelola hasil kekayaan di dunia, maka manusia harus bisa menjamin kesejahteraan bersama dan dapat mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah SWT.[4]

Islam mengakui hak milik pribadi dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalan yang halal. Islam melarang setiap orang menzhalimi dan merongrong hak milik orang lain dengan azab yang pedih, terlebih lagi kalau pemilik harta itu adalah kaum yang lemah, seperti anak yatim dan wanita. (Qs.Adz-zariyat:19, dan Qs.Al-Isra':26)[5]


C.    Defenisi Hak Milik
1.      Konsep Dasar Kepemilikan dalam Islam adalah Firman Allah SWT
Kepunyaan Allah lah segala apa yang ada dilangit dan dibumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada didalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki (Qs. Al-Baqarah:284).

2.      Defenisi Hak Milik Menurut Para Fuqoha
Kewenangan atas sesuatu dan kewenangan untuk menggunakannya / memanfaatkannya sesuai dengan keinginannya, dan membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut kecuali dengan alasan syari'ah.[6]

3.      Defenisi Hak Milik Menurut Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyah mendefenisikan sebagai sebuah kekuatan yang di dasari atas syari'at untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan tingkatnya. Misalnya, sesekali kekuatan itu sangat lengkap, sehingga pemilik benda itu berhak menjual atau memberikan, meminjam atau menghibahkan, mewariskan atau menggunakannya untuk tujuan yang produktif. Tetapi, sekali tempo kekuatan itu lengkap karena hak milik si pemilik itu terbatas.[7]

D.    Jenis-Jenis Hak Milik dalam Islam
1.      Hak Milik Pribadi
Hak milik pribadi adalah ketetapan hukum syara' yang berlaku bagi zat ataupun manfaat (jasa) tertentu yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi dari barang tersebut (jika barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zat-nya seperti dibeli).[8] Oleh karena itu setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan sebab-sebab (cara-cara) kepemilikan tertentu.
An-Nabhany (1990) mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehensif hukum-hukum syara' yang menentukan kepemilikan seseorang atas harta tersebut. Islam mengakui adanya hak milik pribadi, dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalur yang sah menurut Agama Islam. Dan Islam tidak melindungi kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan haram. Sehingga Imam Al-Ghazali membagi 5 jenis harta yang dilindungi oleh Islam (sah menurut Agama Islam):

Diambil dari suatu sumber tanpa ada pemiliknya, misal: barang tambang, menggarap lahan yang mati, berburu, mencari kayu bakar, mengambil air disungai, dan lain-lain. Diambil dari pemiliknya secara paksa karena ada unsur halal, misal: harta rampasan. Diambil secara paksa dari pemiliknya karena ia tidak melaksanakan kewajiban, misal: zakat. Diambil secara sah dari pemiliknya dan diganti, misalnya: jual beli dan ikatan perjanjian dengan menjauhi syarat-syarat yang tidak sesuai syari'at. Diambil tanpa diminta, misal: harta warisan setelah dilunasi hutang-hutangnya.[9]

Dalam mengakui keberadaan hak milik pribadi terdapat syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai kekuasaan individu yaitu memperhatikan masalah Umat. Islam mendorong pemilik harta untuk menyerahkan kelebihan kekayaannya kepada masyarakat / Umat setelah memenuhi kepuasan untuk diri sendiri dan keuarga (zakat). Tetapi, membatasi hak untuk menggunakan harta itu menurut kesukaannya sendiri. Hal ini dilakukan untuk perlindungan kebaikan umum dan agar moderat dalam mengakui hak pribadi. Ia mengambil sikap moderat antara mereka yang mendewakan hak milik dan mereka yang secara mutlak menafikan hak milik.

Secara individu memiliki kebebasan untuk menikmati hak miliknya, menggunakannya secara produktif, memindahkannya, melindunginya dari penyia-nyiaan harta. Tetapi, hak nya itu dibatasi oleh sejumlah limitasi tertentu yang sesuai syari'at, tentunya. Ia tidak boleh menggunakannya semena-mena, juga tidak boleh menggunakannya untuk tujuan bermewah-mewahan. Dalam bertransaksikan tidak boleh melakukan cara-cara yang terlarang. Karena manusia hanya sebagai pemegang amanah, maka sudah selayaknya ia harus sanggup menerima batasan-batasan yang dibebankan oleh masyarakat terhadap penggunaan harta benda tersebut.

Karena kepemilikan merupakan izin Al-Shari' untuk memanfaatkan suatu benda, maka kepemilikan atas suatu benda tidak semata berasal dari benda itu sendiri ataupun karena karakter dasarnya, semisal bermanfaat atau tidak. Akan tetapi ia berasal dari adanya izin yang diberikan oleh Al-Shari' serta berasal dari sebab yang diperbolehkan Al-Shari' untuk memilikinya (seperti kepemilikan atas rumah, tanah, ayam dan sebagainya bukan minuman keras, babi, ganja, dan sebagainya), sehingga melahirkan akibatnya yaitu adanya kepemilikan atas benda tersebut.[10]

Batasan tersebut semata-mata untuk mencegah kecenderungan sebagian pemilik harta benda yang bertindak sewenang-wenang (eksploitasi) dalam masyarakat. Pemilik harta yang baik adalah bertenggang rasa dalam menikmati hak mereka dengan bebas tanpa dibatasi dan dipengaruhi oleh kecenderungan diatas sehingga dapat mencapai keadilan sosial dalam masyarakat.

2.      Hak Milik Umum (Kolektif)
Type kedua dari hak milik adalah kepemilikan secara umum (kolektif). Konsep hak milik umum pada mulanya digunakan dalam Islam dan tidak terdapat pada masa sebelumnya. Hak milik dalam Islam tentu saja memiliki makna yang sangat berbeda dan tidak memiliki persamaan langsung dengan apa yang dimaksud dengan sistem kapitalitas, sosialitas dan komunitas. Maksudnya, type ini memiliki bentuk yang berbeda-beda. Misalnya: semua benda-benda yang dimiliki komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja.[11] Sebagian dari benda yang memberikan manfaat besar pada masyarakat berada dibawah pengawasan umum, sementara sebagaian yang lain diserahkan kepada individu. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik masyarakat dengan milik individu secara keseluruhan berdasarkan kepentingan umum. Contoh lain, tentang pemilikan harta kekayaan secara kolektif adalah wakaf.

Dari pengertian diatas, maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
Benda-benda yang merupakan fasilitas umum, karena menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan.[12] Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Rasulullah Saw telah menjelaskan dalam sebuah hadits bagaimana sifat fasilitas umum tersebut. Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw bersabda: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang yaitu : air, padang rumput, dan api". (HR. Abu Daud).

Anas r.a. meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. tersebut dengan menambahkan: "wa tsamanuhu harama" (dan harganya haram), yang berarti dilarang untuk diperjual-belikan, Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw bersabda: "Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapapun) yaitu air, padang rumput, dan api". (HR. Ibnu Majah).

Oleh karena itu, jelaslah bahwa sesuatu yang merupakan kepentingan umum adalah apa saja yang kalau tidak terpenuhi dalam suatu komunitas, apapun komunitasnya, semisal komunitas pedesaan, perkotaan, ataupun suatu Negeri, maka komunitas tersebut akan bercerai-berai guna mendapatkannya. Oleh karena itu, benda tersebut dianggap sebagai fasilitas umum.

Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan. Sebagaimana hadits Nabi:
ﻤَﻦْ ﻤُﻨَﺎﺥُ ﻤِﻨًﻰ ﺴَﺒَﻖَ   
"Kota Mina menjadi tempat mukim siapa saja yang lebih dahulu (sampai kepadanya)" (HR. At-Tirmidzi, Ibn Majah dan Al-Hakim dari 'Aisyah).[13]

Yang juga dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum adalah benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah hanya dimiliki oleh pribadi. Hal ini karena benda-benda tersebut merupakan benda yang tercakup kemanfaatan umum (kelompok pertama diatas). Yang termasuk kedalam kelompok ini adalah jalan raya, sungai, Masjid dan fasilitas umum lainnya. Benda-benda ini dari segi bahwa merupakan fasilitas umum adalah hampir sama dengan kelompok pertama.

Namun meskipun benda-benda tersebut seperti jenis yang pertama, namun benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama, dari segi sifatnya bahwa benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Barang-barang kelompok pertama dapat dimiliki oleh individu jika jumlahnya kecil dan tidak menjadi sumber kebutuhan suatu komunitas. Misalnya, sumur air, mungkin saja dimiliki oleh individu, namun jika sumur air tersebut dibutuhakan oleh suatu komunitas maka individu tersebut dilarang memilikinya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah Masjid, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya.

Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar. Barang tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bahan tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya, yang tidak termasuk berjumlah besar menurut ukuran individu, serta bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya. Barang tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara pribadi dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang temuan), yang darinya harus dikeluarkan khumus, yakni  bagiannya ().

Dalil yang digunakan dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini adalah hadits Nabi riwayat Abu Daud tentang Abyad Ibn Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang garam didaerah Ma'rab:

ﺃَﻧﱠﻪُ ﻭَﻓَﺪَ ﺇﻟﱠﻰ ﺭَﺳُﻮْﻝِﷲِ ﺼَﻟﱠﻰﷲُ ﻋَﻟَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻟﱠﻢَ ﻓَﺎﺳْﺗَﻘْﻄَﻌَﻪُ ﺍْﻟﻤِﻟْﺢَ ﻓَﻘَﻄَﻌَﻪُ ﻟَﻪُ ﻓَﻟَﻤﱠﺎ ﺃﻥْ ﻭَﻟﱠﻰ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻤَﺠْﻟِﺲِ ﺃﺗَﺪْﺭِﻱْ ﻣَﺎﻗَﻄَﻌْﺖَ ﻟَﻪُ ٳﻨﱠﻣَﺎ ﻗَﻄَﻌْﺖَ ﻟَﻪُ ﺍْﻟﻣَﺎﺀَ ﺍْﻟﻌِﺪﱠ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﺎﻧْﺘَﺰَﻉَ ﻣِﻨْﻪُ
“Bahwa ia datang kepada Rasulullah Saw meminta (tambang) garam, maka Beliau-pun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Beliau: “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir” Lalu ia berkata: “Kemudian Rasulullah-pun menarik kembali tambang itu darinya”. (HR. Abu Daud).[14]

Adapun bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Imam At-Tarmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah Saw untuk dibolehkan mengelola sebuah tambang garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya:[15] "Wahai Rasulullah, tahukan engkau apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir". Rasulullah kemudian menarik kembali tambang tersebut darinya. (HR. At-Tirmidzi).

Hadits tersebut menyerupakan tambang garam dengan air yang mengalir, karena jumlahnya yang sangat besar. Hadits ini juga menjelaskan bahwa Rasulullah Saw memberikan tambang garam kepada Abyadh bin Hamal yang menunjukkan kebolehan memiliki tambang. Namun, tatkala Beliau mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang mengalir (jumlahnya sangat besar), maka Beliau mencabut pemberiannya dan melarang dimiliki oleh pribadi, karena tambang tersebut merupakan milik umum.

3.      Hak Milik Negara
Harta-harta yang termasuk milik Negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum Muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang Negara, dimana Negara dapat memberikan kepada sebagian warga Negara, sesuai dengan kebijaksanaannya. Makna pengelolaan Negara ini adalah kekuasaan yang dimiliki Negara untuk mengelolanya semisal harta fa'i, kharaj, jizyah dan sebagainya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.[16]

Menurut Ibn Taimiyah, sumber utama kekayaan Negara adalah zakat, barang rampasan perang (ghanimah). Selain itu, Negara juga meningkatkan sumber penghasilan dengan mengenakan pajak Warga Negaranya, ketika dibutuhkan atau kebutuhannya meningkat. Demikian pula berlaku bagi kekayaan yang tak diketahui pemiliknya, wakaf, hibah dan pungutan denda termasuk sumber kekayaan Negara.[17]

Kekayaan Negara secara aktual merupakan kekayaan umum. Kepala Negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah. Dan merupakan kewajiban Negara untuk mengeluarkannya guna kepentingan umum. Oleh karena itu sangat dilarang penggunaan kekayaan Negara yang berlebih-lebihan. Adalah merupakan kewajiban Negara melindungi hak fakir miskin, bekerja keras bagi kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial dan mengurangi jurang pemisah dalam hal distribusi pendapatan.

E.     PENGEMBANGAN HAK MILIK
1.      Pengelolaan Kepemilikan
Pengelolaan kepemilikan adalah sekumpulan tatacara (kaifiyah) yang berupa hukum-hukum syara' yang wajib dipegang seorang Muslim tatkala ia memanfaatkan harta yang dimilikinya (Abdullah 1990).[18]

Mengapa seorang Muslim wajib menggunakan cara-cara yang dibenarkan Asy-Syari' (Allah SWT) dalam mengelola harta miliknya? Sebab, harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Maka dari itu, ketika Allah telah menyerahkan kepada manusia untuk menguasai harta, artinya adalah hanya melalui izin-Nya saja seorang Muslim akan dinilai sah memanfaatkan harta tersebut. Izin Allah itu terwujud dalam bentuk sekumpulan hukum-hukum syara'.

Walhasil, setiap Muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam pengelolaan harta yang telah dimilikinya seorang tersebut, ia wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan syara' yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan.

Secara garis besar, pengelolaan kepemilikan mencakup dua kegiatan. Pertama, pembelanjaan harta (infaqul mal). Kedua, pengembangan harta (tanmiyatul mal).[19]




2.      Pengembangan Harta
Pengembangan harta (tanmiyatul mal) adalah kegiatan yang memperbanyak jumlah harta yang telah dimiliki (An-Nabhani, 1990). Seorang Muslim yang ingin mengembangkan harta yang telah dimiliki, wajib terikat dengan ketentuan Islam berkaitan dengan pengembangan harta. Secara umum Islam memberikan tuntunan pengembangan harta melalui cara-cara yang sah seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang Islami dalam bidang pertanian, perindustrian, maupun perdagangan. Selain Islam juga melarang mengembangkan harta yang terlarang seperti dengan jalan aktifitas riba, judi, serta aktifitas terlarang lainnya.

Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum (collective property) itu adalah hak Negara, karena Negara adalah wakil Umat. Meskipun menyerahkan kepada Negara untuk mengelolanya, namun Allah SWT telah melarang Negara untuk mengelola kepemilikan umum (collective property) tersebut dengan jalan menyerahkan penguasaannya kepada orang tertentu. Sementara mengelola dengan selain dengan cara tersebut diperbolehkan, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara'.[20]

Adapun pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan Negara (state property) dan kepemilikan individu (private property), nampak jelas dalam hukum-hukum baitul mal serta hukum-hukum mu'amalah, seperti jual-beli, gadai (rahn), dan sebagainya. As-Syari' juga telah memperbolehkan Negara dan individu untuk mengelola masing-masing kepemilikannya, dengan cara lain, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara'.

F.     KESIMPULAN dan PENUTUP
Islam mengakui adanya hak milik pribadi (individu) dan memperbolehkan usaha-usaha serta inisiatif individu didalam menggunakan dan mengelola harta pribadinya. Islam juga telah memberikan batasan-batasan tertentu sesuai syari'at sehingga seseorang dapat menggunakan harta pribadinya tanpa merugikan kepentingan umum.

Sebenarnya kerangka sistem Islam secara keseluruhan ini dibentuk berdasarkan kebebasan individu didalam mencari dan memiliki harta benda dan campur tangan pemerintah (intervensi) yang sangat terbatas hanya terhadap harta yang sangat diperlukan oleh masyarakat, selain itu tidak.

Namun, ada beberapa kepentingan umum yang tidak bisa dikelola dan dimiliki secara perorangan (KA, POS, Listrik, Air, dan sebagainya), tapi semua itu menjadi milik dan dikelola oleh Negara untuk kepentingan umum.

Kemudian terdapat perbedaan sifat hak milik, baik itu pribadi maupun umum, yang terdapat dalam Islam dengan kapitalis dan komunis. Didalam kapitalis, hak milik individu adalah mutlak tak terbatas. Dalam komunis, hak milik diabaikan sama sekali. Sedangkan didalam Islam, hak individu itu berada dalam keadaan norma, bukan tak terbatas seperti yang terdapat dalam kapitalis, ataupun ditekan sama sekali seperti yang terdapat dalam komunis. Inilah sisi kemoderatan Islam dalam memandang hak milik.














DAFTAR PUSTAKA

  1. Al-Qur'an Al-Karim
  2. http://dimel2002.multiply.com/journal/item/11.
3.                              Lativa M. Algoud, Mervyn K Lewis, Perbankan Syari'ah, Terj. Burhan W. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003). H.49.
  1. http://jurnal-ekonomi.org/2004/01/19/asas-asas-ekonomi-Islam/
  2. Al-Nabhany, al-Nizam al-Iqtisadi.
  3. Al-Jami' al-Saghir, jil 2.
  4. Al-Shawkani, Nayl al-Awtar, jil 6.


[2] Ibid.
[3] Lativa M. Algoud, Mervyn K Lewis, Perbankan Syari'ah, Terj. Burhan W. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003). H.49.
[5] Ibid.
[7] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Al-Nabhani, al-Nizam al Iqtisadi, 72-73.
[11] Al-Nabhani, al-Nizam al Iqtisadi, 213.
[12] Al-Nabhani, al-Nizam al Iqtisadi, 213.
[13] Lihat: al-Jami' al-Saghir, jil 2, 183.
[14] Al-Shawkani, Nayl al-Awtar, jil 6, 53.
[16] Al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi, 218.
[19] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar