Neo-Sufisme dan Spiritualitas Masyarakat Modern
Oleh : Syahmiruddin Pane, S.Sos, M.A.
A.Pendahuluan
Ketika
arus modernisasi menghujani dunia Islam, proses ini menimbulkan dampak negatif
bagi masyarakat Muslim, seperti tumbuhnya materialisme, hedonisme dan
sekularisme, dll. Kondisi ini mengakibatkan kekosongan jiwa dan keringnya
nilai-nilai spiritual umat Muslim. Pada saat masyarakat Muslim menyadari akan
kekeringan spirititualitas dan ingin menumbuhkannya kembali, maka salah satu jalan
yang dapat ditempuh ialah dengan tasawuf.
Namun, kebanyakan setiap Muslim tersebut cenderung mengikuti pola-pola atau
metode sufisme ortodoks (tarekat-tarekat)
yang akhirnya menempatkan individu jauh dari keduniawian, lari dari
kewajibannya sebagai khalifah di bumi dan menghindar dari tanggung jawabnya
sebagai insan sosial.
Dalam
contoh lain misalnya, berkembangnya trend berpikir bahwa “ tobat adalah urusan di hari tua”. Paham
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam ini seolah-olah menjadi semacam budaya
tersendiri bagi generasi muda Islam sekarang. Paham semacam ini menjadikan
sebagian generasi muda Muslim jauh dari ajaran agama dan nilai-nilai spiritual
agama, sehingga maksiat dianggap hal yang biasa dan harus dicoba, dan ketika
sudah tua, barulah tiba masa bertobat. Begitu juga dengan tindak kekerasan dan
kerusakan moral pada generasi muda Islam, menjadikan generasi Muslim sunyi dan
jauh dari nilai-nilai ajaran Islam.
Paham
demikian mengakibatkan umat Islam jadi
tertinggal dibanding dengan umat-umat lainnya karena lebih mementingkan urusan
akhirat dan cenderung menjauhi urusan dunia.
B.Pengertian Neo-Sufisme
Terminologi
Neo-Sufisme pertama kali dimunculkan
oleh pemikir muslim kontemporer, yakni oleh almarhum Fazlur Rahman dalam
bukunya yang berjudul “Islam”. Menurut
Rahman, neo-sufisme adalah tasawuf yang
telah diperbaharui, yang terutama dilucuti dari ciri dan kandungan ekstatik dan
metafisiknya, menekankan dan memperbaharui
faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan dan aktivitas dalam
tasawuf, memfokuskan pada perhatian
terhadap rekonstruksi sosio-moral
dari masyarakat Muslim.[1]
Di
Indonesia, Hamka telah mengemukakan istilah tasawuf modern yang digagasnya
dalam sebuah buku yang berjudul “Tasawuf
Modern”. Tetapi dalam buku Hamka tersebut tidak ditemui kata Neo-Sufisme.
Keseluruhan buku ini, terlihat adanya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan
tasawuf al-Ghazali dengan tasawuf modern, kecuali dalam hal “uzlah” . Kalau al-Ghazali mensyaratkan uzlah dalam penjelajahan menuju
kualitas hakikat, maka Hamka justru menghendaki agar khultah dalam mencari kebenaran
hakiki untuk tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. [2]
Uzlah
menunjukkan arti menyingkir atau bergeser. Atau bisa juga mengasingkan dan
menjauhkan diri. Kata Uzlah ditemukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah memiliki
makna yang berbeda-beda, yaitu antara makna mengasingkan secara mutlak dan
sebagian, dan antara uzlah yang bersifat jasmani dan maknawi. Jadi dapat dijelaskan secara umum bahwa uzlah
yaitu menghindari sesuatu baik berbentuk tindakan atau sekedar berlepas tangan,
atau dengan cara lain, baik dilakukan secara jasmani ataupun hati.[3]
Dasar secara jasmani saja bisa dilihat pada
(Q.S. Hud /11 :42) : “Dan Nuh menyeru anaknya sedang anak itu berada di tempat
yang terasing” dan uzlah secara hati dan jasmani adalah pada (Q.S. Maryam /19 :48-49 ) : “Dan aku akan mengasingkan diri
dari kalian dan dari apa yang kalian seru selain Allah, dan aku akan berdoa
kepada Rabbku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Rabbku,
Maka ketika Ibrahim sudah mengasingkan diri dari mereka dan dari peribadatan
mereka selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq danYa’kub.[4]
Khultah
ialah bercampur dan berbaur, artinya bercampur dalam kehidupan sosial
masyarakat. Dari penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa al-muzayalah (mengasingkan diri) berantonim dengan al-mukhalathah (berbaur). Sehingga benar
kalau uzalah dapat diartikan dengan berlepas diri dengan hati, meski pandangan,
perkataan dan tindakan berbeda, Dan meski secara fisik berbaur bersama mereka.[5]
Di sinilah perlu diketengahkan mengenai
konsep neo-sufisme karena ide terpenting dari neo-sufisme adalah tawazun, yaitu keseimbangan antara dunia
dan akhirat, antara kesalehan individu
dan kesalehan sosial.
C.Tokoh Neo-Sufisme
Menurut
Fazlur Rahman, perintis apa yang ia sebut sebagai neo-sufisme adalah Ibnu
Taimiyah ( w.728.H) yang kemudian diteruskan oleh muridnya Ibnu Qoyyim, yaitu tipe
tasawuf yang mengintegrasikan hakikat dengan syariah.[6]
Ibnu
Taimiyah sering dan tidak segan menyebut kepada kaum sufi sebagai golongan yang
tersesat jalan dan bahkan menyerupakan mereka dengan orang kafir dan musyrik,
termasuk ketika ia berbicara kepada kalangan awam mereka dan sebagian orang
yang menganut paham tasawuf. Walaupun ia mengecualikan sebagaian mereka yang
terkenal seperti Junaid, Abu Yazid Busthami, dan Abdul Qadir Jailani. Ia
mengkritik mereka yang menyelam terlalu jauh dalam beberapa hal. Sebagai contoh
hakikat pertama adalah hakikat kosmos ( al-haqiqah al-kauniyyah), artinya Allah swt adalah pencipta alam semesta ini
dan segala isinya, banyak dari mereka yang berbicara tentang hakikat dan
penyaksiannya yang hanya menayaksikan hakikat ini, tiada lain. Padahal,
penyaksian ini ini bukan hal yang dikhususkan bagi orang yang beriman, tatapi
orang kafir juga serta pendurhaka sama-sama bisa mendapatkannya, “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada
mereka, “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan
bulan? Tentu mereka menjawab, “Allah”, Bahkan Iblis pun mengakui hakikat
ini. Menurutnya barangsiapa berhenti pada hakikat ini dan penyaksiannya, dan
tidak menjalankan hakikat agama yang diperintah Allah kepadanya, maka
keimanannya kepada Allah dinilai tidak sempurna karena ketidaksempurnaan
hakikat agamanya. Ini merupakan masalah besar, banyak orang yang keliru
terhadapnya dan banyak pesuluk yang tersesat.[7]
Neo-sufisme
yang merupakan gerakan “reformasi” sufisme terdahulu atau pembaruan sufisme
ortodoks, digagas pertama kali oleh Al-Ghazali. Landasan pikir yang
dikembangkannya adalah apa yang dikenal dengan istilah syari`at, thariqat dan hakikat
yang terpadu secara utuh. Artinya bahwa penghayatan keagamaan harus melalui
proses gradual (berkelanjutan) dan kumulatif antara syari`at dan sufisme.
Sebelum memasuki dunia tasawuf, harus lebih dahulu memahami syari`at secara
benar dan mendalam. Kemudian menjalani proses thariqat. Thariqat adalah semacam sistem eksoteris yang akan
menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi, yakni hakikat.[8]
Sementara
itu, Islam merupakan sebuah agama yang berisi ajaran-ajaran yang
diturunkan Allah SWT kepada manusia melalui nabi Muhammad SAW yang diutus
sebagai rasul pembawa ajaran tersebut (Q.S. al-Anbiya /21:107).[9]
Islam juga mengambil bentuk sikap penyerahan diri seluruhnya kepada kehendak
Allah SWT atas segala kehendaknya.[10]
Istilah
modernisasi, seperti beberapa kata lainnya, berasal dari bahasa Barat yang
telah dipakai dan masuk kedalam bahasa Indonesia. Awalnya di Barat,
modernisasi ini merupakan gerakan yang muncul antara tahun 1650 sampai tahun
1800 M, suatu masa yang terkenal dalam sejarah Eropa sebagai The Age Of
Reason atau Enlightenment, yakni masa pemujaaan akal.[11]
Modernisasi Eropa tersebut merupakan
sebuah aliran, gerakan atau paham yang berusaha mengubah adat istiadat atau
institusi-institusi lama dan sebagainya, agar semua itu sesuai dengan
pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi modern.
Ketika
istilah modernisasi masuk dan diadopsi kedalam dunia Islam pada zaman modern
ini, oleh para tokoh dan pemikir terkadang istilah tersebut sering
dibolak-balik menjadi Islam modern, modernisme Islam, modernitas dalam Islam
dan dalam bentuk lainnya. Dalam hal ini, istilah-istilah tersebut sebenarnya
mempunyai makna yang sama dan selaras maksudnya dengan modernisasi Islam. jadi,
istilah ini merupakan istilah yang sering digaungkan dan didengungkan oleh para
pemikir Islam untuk memperbaharui realitas-realitas yang terjadi pada
masyarakat Islam sekarang.
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, maka ada baiknya jika kita melihat langsung
kepada realitas yang terjadi pada umat Islam saat ini. Salah satu realitas yang
dapat ditunjukkan adalah bahwa umat Islam saat sekarang merupakan masyarakat
yang menempati posisi di bawah masyarakat Barat (Eropa) dalam berbagai bidang
kehidupan. Berbicara tentang peradaban yang maju, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi juga kalah dari mereka. Ada
apa sebenarnya dengan Islam? Sehingga banyak para pemikir Islam yang
mengernyitkan dahinya untuk memikirkan hal ini sampai mencari solusinya.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa umat Islam mundur karena masih berkutat
dengan sistem atau pola-pola tradisional yang ortodoks. Sistem yang dipakai
khususnya berkaitan dengan pemahaman keagamaan atau pola fikir umat Islam sudah
usang dan tidak relevan lagi dengan kebutuhan zaman modern. Mungkin hal
tersebut ada benarnya, karena itu, modernisasi nampaknya kembali digalakkan
oleh para pemikir muslim untuk menjadikan umat Islam sebagai umat yang memiliki
kedinamisan dan mampu bertahan dengan berbagai tuntutan zaman yang semakin kompleks.
Jika
melihat kondisi umat Islam yang ada di Indonesia,
maka akan semakin jelas bahwa sebagian besar umat Islam Indonesia masih berkutat dalam
pola-pola dan tradisi lama. Pemahaman mengenai dogma-dogma yang masih
tradisional nampaknya masih terus dipelihara
dan dipertahankan. Fazlur Rahman dalam penelitiannya mengatakan bahwa
orang-orang Indonesia yang pergi ke Makkah dan tinggal bertahun-tahun di sana
dan mengembangkan intelektualisme Islam ortodoks-terutama teologi ortodoks dan
hadis,[12]
ketika kembali ke Indonesia, mulai menyebarkan ilmu-ilmu mereka di
pesantren-pesantren, yang sedikit demi sedikit berkembang menjadi madrasah.
Alumni-alumninya kemudian kembali ke masyarakat dan mengembangkan ilmu-ilmu
klasik yang kebanyakan berisi dogma-dogma yang tidak akliah (rasional), saya
dalam hal ini tidak menyatakan bahwa pola-pola tradisional tersebut buruk dan
tidak baik (pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh ulama-ulama klasik itu
sangat jenius dan mampu bertahan dalam kurun waktu yang panjang) namun ada
masanya di mana paham-paham (pendapat) klasik tersebut tidak dapat merespon
berbagai persoalan zaman yang semakin kompleks.
Studi
mengenai Islam modern, sebenarnya mencakup fikiran-fikiran,
persoalan-persoalan dan gerakan yang
timbul di dunia Islam modern sebagai akibat dari kontak yang terjadi antara
dunia Barat dan dunia Islam. Harun Nasution menyebutkan bahwa dalam usaha
modernisasi itu, umat Islam sampai sekarang masih lebih banyak berkaitan dengan
aspek dari material dari kemajuan barat seperti alat-alat industri, ekonomi,
pendidikan, pers dan lain-lain, dari pada aspek spiritual dan mentalnya.[13]
Jadi secara lahiriah umat Islam saat sekarang telah menjadi modern, tapi secara
batiniah atau mental masih banyak yang bersifat tradisional, belum ada keseimbangan
antara aspek material dengan aspek mental dalam upaya melakukan modernisasi
ini.
Mungkin,
sebuah contoh yang bisa dikemukakan untuk mendukung pernyataan Harun Nasution
tersebut, bahwa masyarakat Islam khususnya di Indonesia cenderung masih belum bisa
menerima banyak kebenaran. Kebenaran masih dipandang dari satu segi saja.
Apabila berbeda dan melangkahi tuntunan dari agama secara normatif, maka sudah
dianggap salah dan bid’ah (mengada-ada), ini masih banyak terjadi di Indonesia.
Belum lagi masalah-masalah yang berkaitan dengan keyakinan dan kepercayaan,
cenderung masih sangat rentan ada pernyataan “saya yang benar dan mereka itu salah”
D.Corak Neo-Sufisme
Menurut
Fazlur Rahman selaku penggagas istilah ini, neo-sufisme ada;ah “reformed sufism” , sufisme yang telah
diperbaharui. Kalau pada era kecemerlangan sufisme terdahulu, aspek yang paling
dominan adalah sifat ekstatik- metafisik atau mistis filosofis, maka dalam
sufisme baru ini digantikan/direform. Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan
kepada rekonstruksi sosio-moral
masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu terkesan lebih bersifat
individual dan “hampir “ tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan.
Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah “puritanis dan aktivis”.
Ia mengakomodir sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat direkonsiliasikan
dengan Islam orthodoks. Tujuan akhir neo-sufisme adalah penekanan yang lebih
intens pada penguatan iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam, dan
penilaian terhadap kehidupan duniawi sama pentingnya dengan kehidupan ukhrawi. [14]
C.Sekilas Perkembangan Sufisme
Sejak
akhir abad II Hijriah, sufisme sudah populer di kalangan masyarakat dunia
Islam.Sebagai perkembangan lanjut dari gaya
keberagaman para zahid (meninggalkan
urusan dunia) dan ‘abid ( penghambaan/penyerahan diri kepada
Tuhan).[15]
Fase pertama ini disebut fase zahid/asketisme
yang merupakan bibit awal tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini
ditandai munculnya individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat untuk
beribadah dan mengabaikan kehidupan duniawi. Anyak pengamat sufisme berpendapat
bahwa sufi atau sufisme diidentikkan dengan sekelompok kaum muhajirin yang
bertempat tinggal di serambi Masjid Nabi di Madinah, dipimpin oleh Abu Dzar al
Ghiffari. Mereka menempuh pola hidup yang sangat sederhana, zuhd terhadap dunia
dan menghabiskan waktu beribadah kepada Allah. Pola kehidupan mereka kemudian
dicontoh oleh sebagian umat Islam yang dalam perkembangan selanjutnya
disebutkan tasawuf atau sufisme.[16]
Fase ini berlangsung sampai akhir abad II H. Memasuki abad III Hijriah,
ditandai dengan peralihan dari asketisme ke sufisme, ditandai dengan pergantian
sebutan zahid menjadi sufi. Pada fase kedua ini topik
pemikiran/pembicaraan para zahid sudah meningkat ke persoalan bagaimana jiwa
yang bersih, apa itu moralitas dan pembinaannya, serta perbincangan masalah
kerohanian lainnya. Pada fase ini muncul konsepsi tentang jenjang yang harus
ditempuh sufi ( al-maqomat : zuhud-makrifat-mahabbah-wahdat al-wujud ) [17]
serta ciri-ciri yang dimiliki orang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu.
Masa ini juga timbul pemikir tasawuf terkemuka, seperti al-Muhasibi (wafat 243
H), al-Harraj (wafat 277 H), al-Junaid al-Baghdadi (wafat 297 H) dan penulis
lainnya.[18].
Secara konseptual-tekstual lahirnya sufisme adalah pada fase ini, sedangkan
sebelumnya hanya berupa pengetahuan perorangan. Sejak itu sufisme berkembang
terus ke arah penyempurnaan.
Kepesatan perkembangan sufisme,
memperoleh dorongan setidaknya karena 3 faktor, antara lain :
1. Karena gaya kehidupan yang glamour-profanistik (daya
tarik keduniawian yang semu) dan corak kehidupan materialis-konsumeris yang
diperagakan oleh sebagian besar penguasa negeri yang menjalar ke kalangan
masyarakat luas. Dari aspek ini, dorongan yang paling kuat adalah sebagai
reaksi terhadap gaya
kehidupan sekular dari kelompok elit dinasti penguasa.
2.Timbulnya sikap apatis sebagai reaksi
maksimal terhadap radikalisme (sikap membangkang) kaum khawarij dan segala pengaruh yang timbul akibat
kondisi itu. Kekerasan pergulatan kekuasaan pada masa itu, menyebabkan
orang-orang yang ingin mempertahankan kesalehan dalam suasana kedamaian
rohaniah, keakraban cinta sesama, terpaksa memilih sikap menjauhi kehidupan
masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari
keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap tersebut melahirkan
‘uzlah yang cenderung ekslusif, memilih kehidupan rohaniah-mistis, mencari
kompensasi untuk memenangkan pertempuran ukhrowi di medan duniawi.
3.Faktor kodifikasi hukum Islam (fiqh)
dan perumusan ilmu kalam (teologi) yang dialektis-rasional, sehingga
menyebabkan nilai spiritualnya menjadi
semacam wacana tiada isi, semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan
dirasakan semakin mengeringkan dan menyesakkan hati yang berakibat putusnya
komunikasi langsung dan suasana keakraban antara hamba dan khaliq-Nya.[19]
Tujuan
akhir sufisme adalah : pertama,
pelepasan secara menyeluruh Ireformasi total) segala keinginan pribadi dan
melepaskan diri dari sifat jahat yang berkenaan dengan keduniawian (fana’an ma’ashi dan baqa al ta’ah); kedua, penyerahan
diri sepenuhnya kepada kehendak absolut Tuhan, memandangnya sebagai penggerak
utama dari segala kejadian di alam semesta; ketiga,
peniadaan kesadaran terhadap diri sendiri serta pemusatan perenungan kepada
Tuhan semata.[20]
D.Perbedaan dan Persamaan dengan
sufi klasik
Sufi
klasik/sufisme orthodoks yang dipelopori oleh Al Ghazali (wafat 503 H) awalnya
bertujuan membendung invasi berkembanganya teologi sufisme yang menurut pandangan
kaum orthodoks dapat merusak sendi-sendi ketauhidan, maka al-Ghazali merumuskan
suatu konsepsi yang diharapkan menampung aspirasi kedua belah pihak. Kalau pada
kesalehan asketis ( zahid) yang awal dengan penekanannya pada motif esoteris,
maka al-Ghazali menampilkan doktrin ma’rifat.
Al-ma’rifat
dia maksudkan ialah pengetahuan yang diperoleh melalui penjelajahan batin atau
eksperimen batin, ma’rifat idisini ialah mengawinkan kebenaran ayariah
(lahiriah) dengan kebenaran sufisme (batiniyah) yang disebut hakikat. Dari
perjalanan panjang dalam mencari kebenaran, ia sampai pada kesimpulan,
kebenaran yang imani tidak mungkin diperoleh melalui pemikiran pilosofis,
tetapi hanya melalui kehidupan batiniyah sajalah iman benar-benar dapat
diperoleh, dan bahwa sufisme tidak memiliki muatan selain iman dan tauhid.[21]
Selanjutnya ia menegaskan bahwa
sufisme bukanlah suatu cara untuk
memperoleh fakta-fakta ekstra mengenai realita, melainkan cara untuk
memandangnya sebagai satu kesatuan.[22]
D. Tokoh-Tokoh Neo-Sufisme
1.
Nurcholish Madjid
Salah satu pemikir Islam yang respon
dengan hal tersebut adalah Nurcholish Madjid. Pemikiran modern Nurcholish
Madjid sudah dikenal pada tahun 1970-an. Modernisasi baginya identik dengan
“rasionalisasi”. Bagi seorang muslim, katanya, modernisasi adalah sebuah
keharusan, bahkan suatu kewajiban mutlak. Dalam arti rasionalisasi adalah
kewajiban agama, karena diperintah oleh tuhan.[23]
Akan tetapi pemikirannya setelah tahun 1970-an dianggap sebagai momentum
lahirnya gerakan pembaharuan pada sebagian pemuda muslim yang sangat radikal
dalam pemikiran regio-politik Islam di masa orde baru Indonesia.[24]
Ide-ide pembaruan dikemukakan secara
formal pertama kali dalam suatu makalah yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid
di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970 dengan judul “Keharusan pembaharuan
pemikiran Islam dan masalah integrasi umat.”[25]
Berdasarkan realitas tersebut, tak
sulit disepakati bahwa Nurcholish Madjid yang akrab disapa “Cak Nur” masuk
kedalam kategori pemikir neo-modernis Islam di Indonesia. Pemikiran dan
gagasannya banyak dikagumi sekaligus dicaci maki oleh banyak orang. Meminjam
istilah profesor Syahrin, maka Nurcholish Madjid merupakan tipe seorang shocker (pembuat kejutan) terhadap
gagasan-gagasan yang diboomingkannya. Ketika umat Islam seolah-olah sedang
terbuai dalam tidur nyenyak, dibuat terpelanting dari tempat tidurnya karena
terkejut dengan gagasan pemikiran Islam
cak Nur. Misalnya saja mengenai kasus buku Fiqh Lintas Agama karya penulis-penulis
Paramadina yang notabene cak Nur juga masuk di dalamnya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa
Nurcholish Madjid juga merupakan pelanjut dari pejuang-pejuang pemikir modernis
Islam di masa lampau. Menurutnya “Islam
harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernistik”. Daya tarik
Nurcholish Madjid sebenarnya terletak dalam
gagasannya mengenai rasionalisasi, sekularisasi dan pluralisme agama.
Jika konsep-konsep tersebut ditelusuri dan dicari akarnya, itu merupakan buah
dari gagasannya mengenai modernisasi Islam, karena gagasan modernisasi akan
melahirkan ide-ide baru sebagai buah dari modernisasi tersebut seperti
rasionalisme, nasionalisme, sosialisme, demokrasi dan lain sebagainya.[26]
Jadi, ide-ide cak Nur yang “heboh intelektual” tersebut merupakan konsekwensi
terhadap gagasan modernisasi Islam itu sendiri.
Sebenarnya
masih banyak lagi gagasan-gagasan Nurcholish Madjid seputar masalah-masalah
keislaman yang cukup menarik untuk dikaji. Namun dalam penelitian ini, penulis
akan memfokuskan penelitian pada gagasan modernisasi Islam saja, dan akan
menjalar kepada ide-ide yang berkembang disekitarnya seperti rasionalisasi,
sekularisasi dan pluralitas agama. Gagasan-gagasan yang cukup menarik tersebut
tentunya didukung oleh sosok Nurcholish Madjid sendiri sebagai pemikir
kontemporer Islam yang cukup populer di Indonesia dan baru saja pergi
meninggalkan kita semua untuk menghadap sang pencipta Allah SWT. Semoga
nilai-nilai perjuangannya terhadap Islam diberi ganjaran yang setimpal, Amiin.
Adapun
sumber-sumber sekunder tersebut antara lain:
1.
Karya-karya Nurcholish Madjid; Khazanah
Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1984), Perspektif Kebangkitan
Islam Abad ke-21 (Jurnal Ulumul Qur’an), Kontekstualisasi Doktrin Islam
Dalam Sejarah (Jakarta, Paramadina, 1994), Islam Doktrin Dan Peradaban,
Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemodernan (Jakarta,
Paramadina, 1992), Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta, Paramadina, 1995)
dan lain sebagainya.
2.
Abdurrahman Wahid, dkk, Kontroversi
Pemikiran Islam Di Indonesia (Bandung, Remaja Rosda Karya, 1993)
3.
Fazlur Rahman, Islam And Modernitas,
Transformation Of An Intellectual Tradition (Chicago, University Of Chicago
Press, 1982) dan lain sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamka. 2005. Tasawuf Modern. Jakarta: PT.Pustaka Panjimas.
Nasution,
Harun. 1985. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta : UI-Press.
Nasution, Harun. 1998.
Islam Rasional, Bandung
: Mizan. Cet. Ke-5.
Nasution, Harun. 1973. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang.
Rahman, Fazlur. 1984. Islam diterj.Ahsin
Mohammad. Bandung:
Penerbit Pustaka.
Siregar,
Ahmad Rivay. 2000. Dari Sufisme Klasik ke
Neo-Sufisme, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
[2] Ahmad Rivay Siregar, “Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme”,
(Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 2000), h.248
[5] Salman Al Audah, “Uzlah Jalan Terakhir”, h.29
[7] Sha’ib
Abdul Hamid, “Ibnu Taimiyah”,
Diterj.Irwan Kurniawan, (Jakarta:Citra,
2009), h.193
[8] Ibid, h.246
[9] Harun Nasution, “Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya”, (Jakarta : UI-Press, Jilid I, 1985), h. 24
[10] Ibid.,
[11]
Harun Nasution, “Islam Rasional”, ( Bandung : Mizan , Cet. Ke-5, 1998), h.181
[12] Fazlur Rahman, ”Islam dan Modernitas
tentang Transformasi Intelektrual”, (Bandung : Pustaka, 1985). h. 52
[13] Harun Nasution, “Islam Rasional”., h.
186
[15] Ahmad
Warson Munawwir, “Kamus Munawwir
Arab-Indonesia”, (Surabaya: Pustaka Progressif, Edisi II, 1997), h.595.
[17] Harun
Nasution, “Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam”, (Jakarta : Bulan Bintang , 1973), h.56
[18] Ahmad
Rivay Siregar, “Dari Sufisme Klasik ke
Neo-Sufisme” h.232
[19]
Ahmad Rivay Siregar, “Dari Sufisme Klasik
ke Neo-Sufisme”, h.234
[20] A.E.Affifi,
“A Mystical Philosopy of Muhyiddin Ibn
Arabi”, Terj.Syahrir Mawi cs, (Jakarta
: Gaya Media Pratama, 1989), h.189
[21]
Teologi al-Ghazali
[22] Fazlur
Rahman, “Islam”, terj.Ahsin
Muhammad, (Bandung : Pustaka, 1984). h. 208
[23] Muhammad
Kamal Hasan, “Muslim Intelektua Responses To New Order Modernisation In Indonesia”,
terj. Ahmadi Thaha, (Surabaya : Bina Ilmu, 1987), h. 30
[24] Ibid.,
h. 14
[25]
Nurcholish Madjid dalam Majalah Panji Masyarakat, no. 51, Pebruari 1970,
h. 5-6
[26]
Harun Nasution, Islam Rasional, h. 182
Tidak ada komentar:
Posting Komentar