RIBA, GHARAR DAN SPEKULASI DALAM ISLAM
Oleh : Syahmiruddin Pane, S.Sos, M.A.
A.
PENDAHULUAN
Rasulullah
Saw melaknat semua bentuk praktek bisnis yang tidak adil dalam kezhaliman dan
kejahatan ekonomi. Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim
disebutkan “kezhaliman itu adalah kegelapan dihari kiamat”. Karena kezhaliman
dianggap sebagai penentu utama dalam semua bidang bisnis yang diharamkan dan
mengandung ketidak-adilan.
Menurut Abdal'ati dalam buku yang ditulis oleh Mustaq Ahmad mengemukakan bahwa, tujuan
utama dari ajaran Islam dalam masalah ekonomi dan perdagangan adalah:[1]
…Untuk
menjamin hak-hak individu dan menjaga solidaritas sosial, untuk mengenalkan
nilai moralitas yang tinggi dalam dunia bisnis dan untuk menerapkan hukum Allah
SWT di dunia bisnis.
Dalam
Al-Qur'an Allah SWT telah mengharamkan riba sebagai sebuah larangan dalam
mu'amalah yang harus dihindari setiap Muslim. Dalam firman Allah SWT:

“Allah
SWT telah menghalalkan jual-beli, dan mengharamka riba”. (Al-Baqarah:275)
B.
LATAR BELAKANG
Riba adalah
kebiasaan yang telah membudaya dikalangan masyarakat ‘Arab, jauh sebelum
larangan riba berlaku. Riba telah menjatuhkan moral dan rohani dalam diri
manusia, disamping memecah-belah masyarakat. Karena kepentingan dan kemiskinan
seseorang telah dijadikan suatu kesempatan untuk memupuk kekayaan dan modal
oleh orang lain.[2]
Dalam ajaran
Agama Yahudi dan Masehi, riba diharamkan secara jelas. Karena didalam
perjanjian lama yang dikutip dari Sifrul
Khuruf dalam buku yang ditulis Ahmad
Shalaby disebutkan “Jika saudaramu berhajat maka tangguhkanlah ia,
janganlah meminta keuntungan dan faedah darinya”.[3]
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktikkan untuk mengambil bunga. Karena
pelarangan tersebut banyak sekali terdapat dalam perjanjian lama.
Bukan hanya
ada pada Agama Yahudi dan Masehi. Tetapi larangan riba juga terdapat pada Agama
lainnya. Karena menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat
yang dapat membedakan antara golongan kaya dan golongan miskin.
Terdapat
pada surat An-Nisaa' {4} : 160 dan 161, Allah berfirman:

Artinya:
"Maka disebabkan kezaliman orang-orang
Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta
orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir di antara mereka itu siksa yang pedih". (QS. An-Nisa' : 160-161).
C.
Riba
Kata riba berarti
tambahan, tetapi yang dimaksud adalah tambahan yang berasal dari usaha haram
yang merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi.[4]
Riba adalah akad atau perjanjian tukar menukar secara khusus (dua atau lebih
materi) yang tidak diketahui kadar persamaannya menurut ukuran syari'at pada
saat terjadinya perjanjian tersebut materi yang ditukarkan ditunda
penyerahannya, baik salah satu atau seluruhnya.[5]
Secara hukum
fiqh, riba mengandung pengertian:
1. Tambahan uang yang diberikan ataupun
diambil, dimana pertukaran uang tersebut dalam bentuk uang yang sama.
2. Tambahan nilai uang pada suatu sisi yang
sedang melakukan kontrak tatkala komoditas yang didagangkan secara barter itu
pada jenis serupa.[6]
Sedangkan
ahli fiqh dalam membuat batasan riba dari Al-Qur'an. Seperti dalam Al-Qur'an
surat Al-Baqarah {2} : 278-279 yang
artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan lepaskanlah sisa-sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.
Jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu modalmu. Kamu
tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (Al-Baqarah {2} : 278-279).
Sedangkan
menurut Sulaiman Rasyid adalah akad
yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya
menurut aturan syara' atau terlambat menerimanya.[7]
Dan menurut Afzalur Rahman bahwa
riba mengandung tiga unsur:
1. Biaya atau kelebihan dan kelebihan atas
modal pinjaman.
2. Ketentuan besarnya tambahan dikaitkan
dengan jangka waktu.
3. Tawar-menawar mengenai syarat pembayaran
tentang besarnya kelebihan uang dilakukan kepada kreditor.[8]
Macam-macam Riba
Sebagian Ulama membagi riba atas tiga
bagian yaitu:
1.
Riba nasi'ah (penangguh
bayaran)
Riba nasi'ah adalah riba yang jelas,
atau dengan arti ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang
meminjamkan, seperti dalam hal hutang.[9]
Riba ini dikatakan riba
jahiliah. Hal ini terdapat pada surat Ali-Imran
{3} : 130.
Firman Allah SWT

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan. (sukses)".
Riba nasi'ah ini menjelaskan
pembayaran hutang yang tertunda dengan imbalan tambahan bunga akan bertambah
sehingga uang semula seratus menjadi seribu.
2.
Riba fadli (tukar
barang)
Riba fadli atau riba tidak jelas
(samar-samar) ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi
adanya penambahan jumlahnya karena orang yang menukarkan emas dengan emas, padi
dengan padi dan sebagainya.[10]
Sabda Rasulullah Saw, dari Ubaidah bin Shamit. Nabi berkata: "emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, hendaklah sama banyaknya, tunai. Barang
siapa menambah atau minta tambahan, berarti ia melakukan riba, yang menerima
dan memberi sama saja".[11]
3.
Qardh (pinjaman)
Riba qardh adalah kelebihan yang
diperoleh oleh pemberi pinjaman dari sipeminjam karena berselang waktu.[12]
Riba ini juga dikategorikan oleh beberapa Ulama menyerupai riba fadhli karena
dalam jenis riba ini didalamnya mensyaratkan keharusan untuk memberikan
keuntungan kepada pemberi pinjaman.
Beberapa alasan
yang menjelaskan pelarangan riba, yaitu:
a.
Riba merendahkan martabat manusia, karena
untuk memenuhi hasrat dunia.[13]
b.
Riba berarti mengambil harta sipeminjam
secara tidak adil.
c.
Riba
menjadikan manusia yang malas bekerja.
d.
Riba menjadikan manusia yang jiwanya tidak
tentram seperti orang kemasukan syaitan.
Adapun ayat-ayat Al-Qur'an dan
hadits riba yang sudah jelas, namun masih ada beberapa cendikiawan yang mencoba
untuk memberi kebenaran atas pengambilan bunga uang.[15]
D.
Produktif – Konsumtif
Kredit yang
dipergunakan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan pokok adalah riba konsumtif.
Sedangkan riba produktif ialah kredit yang dikeluarkan untuk tujuan-tujuan
perdagangan.[16] Kreditor bisa saja menginvestasikan
modalnya pada usaha-usaha yang baik, agar mendapat keuntungan. Dengan cara
kerja sama usaha dan berbagi keuntungan, bukan meminjamkan modal dan menarik
bunga tanpa menghiraukan apa yang terjadi disektor rill. Harus jelas dan jujur
dalam menjelaskan maksud untuk berbisnis atau membantu secara kemanusiaan,
hukum yang berlaku adalah qardhul atau pinjaman kebajikan.[17]
Firman Allah SWT.

“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu
untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak,”.(QS. Al-Hadid {57} :
11)
Menurut Muhammad
Syafi'i Antonio bahwa praktik yang dilarang oleh Islam adalah pematokan
imbalan pada awal secara tetap. Oleh karena itu, Islam membuka kesempatan yang
sangat luas dalam berbisnis.[18]
1.
Pinjaman Kaum Dhu'afa
Kaum dhu'afa mengambil pinjaman untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, sebagian pendapatan mereka diambil alih oleh para pemilik modal
dalam bentuk bunga. Upah dan gaji mereka umumnya sangat rendah. Pemotongan
untuk membayar bunga membuat upah mereka yang tersisa menjadi sangat sedikit
dan memaksa mereka hidup dibawah standar normal. Ini juga mengakibatkan
lemahnya perekonomian Negara.
2.
Monopoli Sumber Dana
Pinjaman modal kerja biasanya diajukan oleh para pedagang,
pengrajin, dan para petani untuk tujuan produksi, namun upaya mereka untuk
dapat lebih produktif tersebut sering terhambat atau hancur karena penguasaan
modal oleh para kualitas.
3.
Pinjaman Pemerintah
Pinjaman pemerintah dikategorikan dalam dua bentuk. Pertama,
pinjaman yang diperoleh dari kalangan asing atau luar Negeri.
E. Hikmah Haramnya Riba
Hikmah yang terkandung dibalik pengharaman riba, yaitu:[20]
1.
Riba merupakan pelanggaran terhadap kesucian harta
(seorang) Muslim yang mengambil kelebihan atau tambahan tanpa dibarengi adanya
pertukaran atau pergantian.
2.
Riba berdampak buruk sekali terhadap fakir miskin
karena pada umumnya hanya orang kaya lah yang meminjamkan uangnya, sedangkan
yang meminjam adalah yang miskin. Apabila si kaya tetap dibiarkan mengambil
atau menerima lebih banyak, maka hal yang demikian akan sangat merugikan si
miskin.
3.
Hikmah larangan riba bagi pribadi adalah menghilangkan
sikap egois, yaitu ingin mementingkan kepentingan pribadi yang berlipat ganda
sedang orang lain bertambah menderita akibat tanggungan yang terus membengkak
dari riba tersebut.
4.
Bagi masyarakat riba akan menimbulkan perasaan saling
benci dan memusuhi, tidak jarang putus silaturrahmi antara orang yang
bertransaksi dengan riba karena sifatnya yang terus bertambah dan membebani
nasabah sehingga sulit untuk keluar dari jerat riba.
5.
Riba mengakibatkan terputusnya nilai kebaikan yang ada
dalam pinjam meminjam uang atau hutang piutang, dan apabila dihalalkan untuk
meminjam satu dirham dengan pengambilan dua dirham, maka pastilah tidak akan
ada yang akan meminjamkan satu dirham dan tidak mengembalikannya dua dirham.
6.
Riba mengakibatkan terbengkalainya pencarian rezeki,
perniagaan, keterampilan dan industri. Sehingga kemaslahatan dan kelestarian
alam tidak akan terwujud karena kemaslahatan dan kelestarian tersebut hanya
akan tercapai dengan hal-hal yang tertentu. Hal ini disebabkan karena apabila
seseorang dapat memperoleh dua dirham dengan hanya menyerahkan satu dirham,
maka tidaklah mungkin ia mencari kepenatan dan bersusah payah mencari rezeki
atau bersabar dalam menghadapi kesulitan-kesulitan berdagang.
F. Gharar
Kata gharar
dalam bahasa ‘Arab berarti akibat, bencana, bahaya dan resiko.[21]
Konsep gharar dapat dibagi menjadi dua kelompok:
1. Kelompok pertama adalah unsur resiko yang
mengandung keraguan, dan tidak pasti secara dominan.
2. Kelompok kedua adalah unsur meragukan yang
dikaitkan dengan penipuan atau kejahatan oleh salah satu pihak lain.
Menurut Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, gharar dapat didefenisikan sebagai situasi, dimana
pihak terkait kontrak yang tidak memiliki informasi berkaitan dengan sebagian
pasal dalam akad, yang dipegang oleh pihak lain. Pasal kontrak adalah sesuatu
yang tidak dapat dikontrol oleh salah satu pihak. Contoh klasik adalah
transaksi jual beli burung atau ikan yang belum tertangkap, anak sapi yang
masih didalam perut ibunya dan lain-lain.[22]
Menurut Suhrawardi secara umum yang dimaksud
dengan resiko adalah setiap kali orang tidak dapat menguasai dengan sempurna,
atau mengetahui lebih dahulu mengenai masa yang akan datang. Resiko menurut Sri Rezeki Hartono yang dikutip oleh Suhrawardi adalah:
$ Kemungkinan terjadinya suatu peristiwa
yang tidak diinginkan, diharapkan terjadi, atau
$ Kemungkinan kehilangan atau kerugian
$ Kemungkinan penyimpangan harapan yang
tidak menguntungkan.[23]
Dalam kitab suci
Al-Qur'an dengan tegas telah melarang semua transaksi bisnis yang mengandung
unsur kecurangan atau mengeksploitasi dalam segala bentuk.
Firman
Allah SWT.

"Dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.". (Al-An'aam {6} : 152).
Gharar mengundang
ketidak-pastian atau ketidak-tahuan salah satu atau kedua belah pihak yang
terkait kontrak, hal inilah yang banyak mengakibatkan pertikaian dan
ketidak-adilan.
Firman Allah SWT.

“Kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah
orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu
hari yang besar”. (QS.
Al-Muthaffifin {83} : 1-5)

“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisaa' {4} : 29)[24]
Gharar yang menimbulkan keraguan,
kecurangan dan kebohongan:
a. Menjual ikan didalam air
b. Menjual burung di udara
c.
Menjual hewan yang masih dalam kandungan berupa janin
d.
Menjual tangkapan yang masih dalam perangkap
e.
Menjual susu yang belum tentu hewan tersebut
menghasilkan
f.
Najsh itu dilarang.[25]
G. Spekulasi dalam Islam
Kata “spekulasi” berasal dari bahasa latin speculate
yang merupakan bentuk kalimat lampau dari speculari yang artinya “melihat kedepan, mengamati, dan menela'ah”. Kata speculari itu sendiri
merupakan turunan dari kata specula, yang berasal dari specere
yang artinya “untuk melihat”, yang
merupakan serdadu Roma yang bertugas mengawasi perkampungan serdadu yang
disebut castrum. Dalam kata ini ditemukan persamaan etimologis dari
kalimat kontemporer yang menunjukkan pada suatu aktifitas "memandang dari
jauh" diangkasa dan juga didalam waktu. Dari “specula” inilah asal kata dalam bahasa latin “speculatio, speculationis”
suatu aktifitas penyelidikan filosofi. Kalimat ini masih digunakan saat ini
dalam dunia filosufi sebagai suatu kegiatan berteori tanpa didukung dengan
suatu dasar fakta yang kuat sebagaimana halnya dalam dunia keuangan modern,
dimana seorang speculator
melaksanakan suatu transaksinya dengan tanpa didukung oleh suatu transaksinya
dengan dasar statistik.
Benjamin Graha,
memberikan defenisi spekulasi ditinjau dari kegiatan investasi adalah investasi
yang dilakukan analisa keuangan secara seksama, menjanjikan keamanan modal dan
kepuasan atas tingkat imbalan hasil. Kegiatan yang tidak memenuhi persyaratan
adalah tindakan spekulatif.
Spekulasi keuangan dalam artian sempit yaitu termasuk
memberi, memiliki, dan menjual instrument keuangan dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan dari fluktuasi harga, dimana pembelian tersebut bukannya
untuk digunakan sendiri atau untuk memperoleh penghasilan yang timbul dari
deviden atau bunga.[26]
Dengan demikian, Islam telah membuka kegiatan yang
sangat luas dalam berbisnis melalui bai'al-murabaha,
bai'as-salam, al-ijarah al-mudharabah, al-musyarakah dan lain-lain.[27]
PENUTUP
Praktek
riba merupakan pemerasan yang dilakukan di kaya terhadap yang miskin yang pada
dasarnya mereka itu yang patut untuk ditolong agar dapat melepaskan diri dari
kesulitan hidupnya, terutama sekali untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Akan
tetapi yang terjadi justru sebaliknya, tukang riba datang menawarkan jasa
dengan cara meminjamkan uang kepada si miskin tersebut dengan ketentuan uang
harus bertambah dari jumlah nilai pokoknya. Akan tetapi ada penyebab yang si peminjam
tidak dapat membayar tepat pada waktunya, maka diadakan penundaan pembayaran,
sehingga uang yang dipinjam si peminjam akan bertambah dan bertambah sesuai
syarat yang diajukan oleh kreditor.
Riba
adalah salah satu hal yang diharamkan Allah, karena riba memiliki aspek negatif
yang jauh lebih banyak dibandingkan manfaatnya tidak sama sekali. Riba telah
diharamkan mulai sejak diturunkannya ayat-ayat Al-Qur'an yang mengharamkannya.
Dalam Al-Qur'an juga telah dijelaskan ancaman atau hukuman yang akan diterima
bagi orang-orang yang melakukan riba, oleh karena itu jangan sekali-kali
seorang Muslim mencoba mendekati riba. Praktek ini termasuk zhalim dan zhalim
diharamkan kepada semua orang tanpa pandang bulu. Dalam hadits Qudsi, Allah SWt
berfirman:
Artinya: “Wahai hamba-Ku! Aku mengharamkan kezhaliman
kepada diri-Ku dan Aku telah tetapkan sebagai perbuatan haram ditengah kamu.
Karena itu janganlah kau saling berbuat zhalim!”.
DAFTAR PUSTAKA
Mustaq Ahmad. Etika
Bisnis dalam Islam (Jakarta,2003)
Ahmad
Shalaby, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran
Islam (Jakarta, 2001)
Abu sura'i
Abdul Hadi, Bunga Bank dalam Islam (Surabaya , 1993)
Asy-Syaikh
Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan, Perbedaan
Jual Beli dan Riba (Jakarta: Pustaka Al-Kausar,1997).
Sulaiman Rasyid.
Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyah,1976)
Afzalur Rahman. Doktrin
Ekonomi Islam. Jil.4 (Yogyakarta,1996)
Saleh
Al-fauzan, Fiqh Sehari-hari (Yakarta:
Gema Insan Press, 2005)
Adiwarman A. Karim, Ekonomi
Islam suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syari'ah: Dari
Teori ke Praktik (Jakarta, 2001)
Zamir
Iqbal dan Abbas Mirakhor. Pengantar Keuangan
Islam (Jarakta, 2008)
Suhrawardi K.Lubis, Hukum
Ekonomi Islam (Yakarta, 2004)
//http:wikipedi.com
[1] Mustaq Ahmad. Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta,2003) hal.126.
[2] Ahmad Shalaby, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam (Jakarta, 2001) hal,346.
[3] Ahmad Shalaby, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam (Jakarta, 2001) hal,347.
[4] Abu
sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank dalam Islam
(Surabaya ,
1993), hal, 21.
[5]
Asy-Syaikh Shaleh, Perbedaan Jual Beli
dan Riba (Jakarta ,1997),
hal,31.
[6] Mustaq Ahmad. Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta,2003) hal.127.
[7] Sulaiman Rasyid. Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyah,1976) hal,279.
[8] Afzalur Rahman. Doktrin Ekonomi Islam. Jil.4 (Yogyakarta,1996) hal,138.
[9] Abu
sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank dalam Islam
(Surabaya ,
1993), hal, 27-28.
[10] Abu
sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank dalam Islam
(Surabaya ,
1993), hal, 27-28.
[11] Abu
sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank dalam Islam
(Surabaya ,
1993), hal, 27.
[12] Ahmad Salaby, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam (Jakarta: Amzah, 2001)
hal,356.
[13] Saleh Al-fauzan, Fiqh Sehari-hari (Yakarta: Gema Insan Press, 2005) hal, 397.
[14] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press,
2001) hal,71.
[15] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta,
2001) hal, 71-72.
[16] Abu
sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank dalam Islam
(Surabaya ,
1993), hal, 17-18.
[17] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta,
2001) hal, 71-72.
[18] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta,
2001) hal, 72.
[19] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta,
2001) hal, 78-80.
[20] Asy-Syaikh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan, Perbedaan Jual Beli dan Riba (Jakarta:
Pustaka Al-Kausar,1997) hal,44.
[21] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam. Jil 4 (Yogyakarta, 1996) hal, 161.
[22] Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor. Pengantar Keuangan Islam (Jarakta,
2008) hal, 88.
[23] Suhrawardi K.Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Yakarta, 2004) hal, 72-73.
[24] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam. Jil 4
(Yogyakarta, 1996) hal, 163.
[25] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam. Jil 4
(Yogyakarta, 1996) hal, 164.
[26]
//http:wikipedi.com
[27] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta,
2001) hal, 78-80.
terimakasih.. sangat membantu
BalasHapus