PENGEMBANGAN DAN PEMANFAATAN HAK MILIK
Oleh : Syahmiruddin Pane, S.Sos, M.A.
A. Pendahuluan
Ekonomi
Islam yang merupakan Rahmatan Lil ‘Alamin, kembali bangkit menorehkan Blue Print-nya. Keberadaannya sangat penting untuk memenuhi
tuntutan masyarakat akan kegagalan ekonomi konvensional. Bahkan, Ekonomi Islam
memiliki prinsip dan karakteristik yang berbeda dengan sistem sekuler yang
menguasai dunia saat ini.
Sebenarnya,
Ekonomi Islam adalah bagian dari sistem Islam yang bersifat umum yang
berlandaskan pada prinsip pertengahan dan keseimbangan yang adil (tawadzun). Islam menyeimbangkan
kehidupan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat.
Keseimbangan antara jasmani dan rohani, antara akal dan hati dan antara realita
dan fakta merupakan keseimbangan yang ada dalam individu. Sedangkan dalam
bidang ekonomi, Islam menyeimbangkan antara modal dan aktifitas, antara
produksi dan konsumsi, dan sebagainya.[1]
Adapun nilai
pertengahan dan keseimbangan yang terpenting, yang merupakan karya Islam dalam
bidang ekonomi selain masalah harta adalah Hak
Kepemilikian (Ownership Right).
Dalam memandang hak milik ini Islam sangat moderat. Dan sangat bertolak
belakang dengan sistem kapitalis yang menyewakan hak milik pribadi, sistem
sosialis yang tidak mengakui hak milik individu.
Meskipun
demikian, masalah hak milik merupakan sebuah kata yang amat peka, dan bukan
sesuatu yang amat khusus bagi seorang manusia. Oleh karena itu, Islam sangat
mengakui adanya kepemilikan pribadi disamping kepemilikan umum. Dan menjadikan
hak milik pribadi sebagai dasar bangunan ekonomi. Dan itupun akan terwujud
apabila ia berjalan sesuai dengan aturan Allah SWT, misalnya adalah memperoleh
harta dengan jalan yang halal, Islam melarang keras kepemilikan atas harta yang
digunakan untuk membuat kezhaliman atau kerusakan dimuka bumi.[2]
Karena
begitu pentingnya aspek kepemilikan dalam bidang ekonomi, maka dalam makalah
ini saya mencoba membahas dan memaparkan tentang Hak Milik (Private Ownership)
dalam Islam sesuai dengan
urgensinya.
Semoga
makalah ini bermanfaat bagi Penulis dan Pembaca sekalian.
B. Konsep Islam tentang Hak Milik
Menurut ajaran Islam, Allah SWT adalah pemilik yang
sesungguhnya dan mutlak atas alam semesta. Allah lah yang memberikan manusia
karunia dan rezeki yang tak terhitung jumlahnya. Manusia memilikinya hanya sementara, semata-mata
sebagai suatu amanah atau pemberian dari Allah. Dalam hal ini, Islam bukan
hanya layanan Tuhan seperti halnya Agama Yahudi dan Nashrani, tetapi juga
menyatukan aturan prilaku yang mengatur dan mengorganisir Umat manusia baik
dalam kehidupan spiritual maupun material.[3]
Manusia
menggunakan harta berdasarkan kebudayaan sebagai pemegang amanah dan bukan
sebagai pemilik yang kekal. Karena manusia mengemban amanah mengelola hasil
kekayaan di dunia, maka manusia harus bisa menjamin kesejahteraan bersama dan
dapat mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah SWT.[4]
Islam
mengakui hak milik pribadi dan menghargai pemiliknya, selama harta itu
diperoleh dengan jalan yang halal. Islam melarang setiap orang menzhalimi dan
merongrong hak milik orang lain dengan azab yang pedih, terlebih lagi kalau
pemilik harta itu adalah kaum yang lemah, seperti anak yatim dan wanita.
(Qs.Adz-zariyat:19, dan Qs.Al-Isra':26)[5]
C. Defenisi Hak Milik
1. Konsep Dasar Kepemilikan dalam Islam adalah
Firman Allah SWT
Kepunyaan Allah
lah segala apa yang ada dilangit dan dibumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang
ada didalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat
perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa
yang dikehendaki (Qs. Al-Baqarah:284).
2.
Defenisi Hak Milik Menurut Para Fuqoha
Kewenangan atas
sesuatu dan kewenangan untuk menggunakannya / memanfaatkannya sesuai dengan
keinginannya, dan membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut kecuali
dengan alasan syari'ah.[6]
3.
Defenisi Hak Milik Menurut Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyah mendefenisikan sebagai sebuah kekuatan yang di dasari
atas syari'at untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat
bervariasi bentuk dan tingkatnya. Misalnya, sesekali kekuatan itu sangat
lengkap, sehingga pemilik benda itu berhak menjual atau memberikan, meminjam
atau menghibahkan, mewariskan atau menggunakannya untuk tujuan yang produktif.
Tetapi, sekali tempo kekuatan itu lengkap karena hak milik si pemilik itu
terbatas.[7]
D. Jenis-Jenis Hak Milik dalam Islam
1. Hak Milik Pribadi
Hak milik pribadi adalah ketetapan hukum syara' yang berlaku
bagi zat ataupun manfaat (jasa) tertentu yang memungkinkan siapa saja yang
mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi
dari barang tersebut (jika barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain
seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zat-nya seperti
dibeli).[8]
Oleh karena itu setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan sebab-sebab
(cara-cara) kepemilikan tertentu.
An-Nabhany (1990)
mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehensif hukum-hukum syara' yang
menentukan kepemilikan seseorang atas harta tersebut. Islam mengakui adanya hak
milik pribadi, dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan
jalur yang sah menurut Agama Islam. Dan Islam tidak melindungi kepemilikan
harta benda yang diperoleh dengan jalan haram. Sehingga Imam Al-Ghazali membagi 5 jenis harta yang dilindungi oleh Islam
(sah menurut Agama Islam):
Diambil dari suatu sumber tanpa ada pemiliknya, misal: barang
tambang, menggarap lahan yang mati, berburu, mencari kayu bakar, mengambil air
disungai, dan lain-lain. Diambil dari pemiliknya secara paksa
karena ada unsur halal, misal: harta rampasan. Diambil secara paksa
dari pemiliknya karena ia tidak melaksanakan kewajiban, misal: zakat.
Diambil secara sah dari pemiliknya dan diganti, misalnya: jual beli dan ikatan perjanjian
dengan menjauhi syarat-syarat yang tidak sesuai syari'at. Diambil tanpa diminta, misal: harta
warisan setelah dilunasi hutang-hutangnya.[9]
Dalam mengakui keberadaan hak milik pribadi terdapat syarat
yang harus dipenuhi untuk mencapai kekuasaan individu yaitu memperhatikan
masalah Umat. Islam mendorong pemilik harta untuk menyerahkan kelebihan
kekayaannya kepada masyarakat / Umat setelah memenuhi kepuasan untuk diri
sendiri dan keuarga (zakat). Tetapi, membatasi hak untuk menggunakan
harta itu menurut kesukaannya sendiri. Hal ini dilakukan untuk perlindungan
kebaikan umum dan agar moderat dalam mengakui hak pribadi. Ia mengambil sikap
moderat antara mereka yang mendewakan hak milik dan mereka yang secara mutlak
menafikan hak milik.
Secara individu
memiliki kebebasan untuk menikmati hak miliknya, menggunakannya secara
produktif, memindahkannya, melindunginya dari penyia-nyiaan harta. Tetapi, hak
nya itu dibatasi oleh sejumlah limitasi tertentu yang sesuai syari'at,
tentunya. Ia tidak boleh menggunakannya semena-mena, juga tidak boleh
menggunakannya untuk tujuan bermewah-mewahan. Dalam bertransaksikan tidak boleh
melakukan cara-cara yang terlarang. Karena manusia hanya sebagai pemegang
amanah, maka sudah selayaknya ia harus sanggup menerima batasan-batasan yang
dibebankan oleh masyarakat terhadap penggunaan harta benda tersebut.
Karena kepemilikan
merupakan izin Al-Shari' untuk
memanfaatkan suatu benda, maka kepemilikan atas suatu benda tidak semata
berasal dari benda itu sendiri ataupun karena karakter dasarnya, semisal
bermanfaat atau tidak. Akan tetapi ia berasal dari adanya izin yang diberikan
oleh Al-Shari' serta berasal dari
sebab yang diperbolehkan Al-Shari'
untuk memilikinya (seperti kepemilikan atas rumah, tanah, ayam dan sebagainya bukan
minuman keras, babi, ganja, dan sebagainya), sehingga melahirkan akibatnya
yaitu adanya kepemilikan atas benda tersebut.[10]
Batasan tersebut
semata-mata untuk mencegah kecenderungan sebagian pemilik harta benda yang
bertindak sewenang-wenang (eksploitasi) dalam masyarakat. Pemilik harta yang
baik adalah bertenggang rasa dalam menikmati hak mereka dengan bebas tanpa
dibatasi dan dipengaruhi oleh kecenderungan diatas sehingga dapat mencapai
keadilan sosial dalam masyarakat.
2.
Hak Milik Umum (Kolektif)
Type kedua dari
hak milik adalah kepemilikan secara umum (kolektif). Konsep hak milik umum pada
mulanya digunakan dalam Islam dan tidak terdapat pada masa sebelumnya. Hak
milik dalam Islam tentu saja memiliki makna yang sangat berbeda dan tidak
memiliki persamaan langsung dengan apa yang dimaksud dengan sistem kapitalitas,
sosialitas dan komunitas. Maksudnya, type ini memiliki bentuk yang
berbeda-beda. Misalnya: semua benda-benda yang dimiliki komunitas secara
bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja.[11]
Sebagian dari benda yang memberikan manfaat besar pada masyarakat berada
dibawah pengawasan umum, sementara sebagaian yang lain diserahkan kepada
individu. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik masyarakat dengan milik
individu secara keseluruhan berdasarkan kepentingan umum. Contoh lain, tentang
pemilikan harta kekayaan secara kolektif adalah wakaf.
Dari pengertian
diatas, maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
Benda-benda yang merupakan fasilitas umum,
karena menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat
menyebabkan perpecahan dan persengketaan.[12]
Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan
manusia secara umum. Rasulullah Saw telah menjelaskan dalam sebuah hadits
bagaimana sifat fasilitas umum tersebut. Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi
Saw bersabda: "Kaum muslimin berserikat
dalam tiga barang yaitu : air, padang
rumput, dan api". (HR. Abu Daud).
Anas r.a. meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. tersebut dengan menambahkan: "wa tsamanuhu
harama" (dan harganya haram), yang berarti dilarang untuk
diperjual-belikan, Ibnu Majah juga
meriwayatkan dari Abu Hurairah,
bahwa Nabi Saw bersabda: "Tiga hal
yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapapun) yaitu air, padang rumput, dan api". (HR. Ibnu Majah).
Oleh karena itu,
jelaslah bahwa sesuatu yang merupakan kepentingan umum adalah apa saja yang
kalau tidak terpenuhi dalam suatu komunitas, apapun komunitasnya, semisal
komunitas pedesaan, perkotaan, ataupun suatu Negeri, maka komunitas tersebut
akan bercerai-berai guna mendapatkannya. Oleh karena itu, benda tersebut dianggap
sebagai fasilitas umum.
Benda-benda yang
sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara
perorangan. Sebagaimana hadits Nabi:
ﻤَﻦْ ﻤُﻨَﺎﺥُ ﻤِﻨًﻰ ﺴَﺒَﻖَ
"Kota
Mina menjadi tempat mukim siapa saja yang lebih dahulu (sampai kepadanya)"
(HR. At-Tirmidzi, Ibn
Majah dan Al-Hakim dari 'Aisyah).[13]
Yang juga dapat
dikategorikan sebagai kepemilikan umum adalah benda-benda yang sifat
pembentukannya mencegah hanya dimiliki oleh pribadi. Hal ini karena benda-benda tersebut merupakan benda
yang tercakup kemanfaatan umum (kelompok pertama diatas). Yang termasuk kedalam
kelompok ini adalah jalan raya, sungai, Masjid dan fasilitas umum lainnya.
Benda-benda ini dari segi bahwa merupakan fasilitas umum adalah hampir sama
dengan kelompok pertama.
Namun meskipun
benda-benda tersebut seperti jenis yang pertama, namun benda-benda tersebut
berbeda dengan kelompok yang pertama, dari segi sifatnya bahwa benda tersebut
tidak bisa dimiliki oleh individu. Barang-barang kelompok pertama dapat
dimiliki oleh individu jika jumlahnya kecil dan tidak menjadi sumber kebutuhan
suatu komunitas. Misalnya, sumur air, mungkin saja dimiliki oleh individu,
namun jika sumur air tersebut dibutuhakan oleh suatu komunitas maka individu
tersebut dilarang memilikinya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi
adalah Masjid, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya.
Bahan tambang yang
jumlahnya sangat besar. Barang tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu bahan tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya, yang tidak termasuk
berjumlah besar menurut ukuran individu, serta bahan tambang yang sangat banyak
(hampir tidak terbatas) jumlahnya. Barang tambang yang sedikit (terbatas)
jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara pribadi dan
terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang temuan), yang darinya harus dikeluarkan khumus, yakni
bagiannya ().
Dalil yang
digunakan dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini adalah hadits
Nabi riwayat Abu Daud tentang Abyad Ibn Hamal yang meminta kepada
Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang garam didaerah Ma'rab:
ﺃَﻧﱠﻪُ ﻭَﻓَﺪَ ﺇﻟﱠﻰ ﺭَﺳُﻮْﻝِﷲِ ﺼَﻟﱠﻰﷲُ ﻋَﻟَﻴْﻪِ
ﻭَﺳَﻟﱠﻢَ ﻓَﺎﺳْﺗَﻘْﻄَﻌَﻪُ ﺍْﻟﻤِﻟْﺢَ ﻓَﻘَﻄَﻌَﻪُ ﻟَﻪُ ﻓَﻟَﻤﱠﺎ ﺃﻥْ ﻭَﻟﱠﻰ ﻗَﺎﻝَ
ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻤَﺠْﻟِﺲِ ﺃﺗَﺪْﺭِﻱْ ﻣَﺎﻗَﻄَﻌْﺖَ ﻟَﻪُ ٳﻨﱠﻣَﺎ ﻗَﻄَﻌْﺖَ ﻟَﻪُ
ﺍْﻟﻣَﺎﺀَ ﺍْﻟﻌِﺪﱠ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﺎﻧْﺘَﺰَﻉَ ﻣِﻨْﻪُ
“Bahwa ia datang kepada Rasulullah Saw meminta
(tambang) garam, maka Beliau-pun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang
laki-laki yang bertanya kepada Beliau: “Wahai
Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau
telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir” Lalu ia berkata: “Kemudian Rasulullah-pun menarik kembali
tambang itu darinya”. (HR. Abu Daud).[14]
Adapun bahan
tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya yang tidak mungkin
dihabiskan oleh individu, maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum
(collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Imam At-Tarmidzi meriwayatkan hadits
dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia
telah meminta kepada Rasulullah Saw untuk dibolehkan mengelola sebuah tambang
garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki
dari majelis tersebut bertanya:[15]
"Wahai Rasulullah, tahukan engkau
apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu
bagaikan air yang mengalir". Rasulullah
kemudian menarik kembali tambang tersebut darinya. (HR. At-Tirmidzi).
Hadits tersebut
menyerupakan tambang garam dengan air yang mengalir, karena jumlahnya yang
sangat besar. Hadits ini juga menjelaskan bahwa Rasulullah Saw memberikan
tambang garam kepada Abyadh bin Hamal
yang menunjukkan kebolehan memiliki tambang. Namun, tatkala Beliau mengetahui
bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang mengalir (jumlahnya sangat
besar), maka Beliau mencabut pemberiannya dan melarang dimiliki oleh pribadi,
karena tambang tersebut merupakan milik umum.
3.
Hak Milik Negara
Harta-harta yang
termasuk milik Negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum Muslimin
yang pengelolaannya menjadi wewenang Negara, dimana Negara dapat memberikan
kepada sebagian warga Negara, sesuai dengan kebijaksanaannya. Makna pengelolaan
Negara ini adalah kekuasaan yang dimiliki Negara untuk mengelolanya semisal
harta fa'i, kharaj, jizyah dan
sebagainya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang
dimiliki khalifah untuk mengelolanya.[16]
Menurut Ibn Taimiyah, sumber utama kekayaan
Negara adalah zakat, barang rampasan perang (ghanimah). Selain itu, Negara juga
meningkatkan sumber penghasilan dengan mengenakan pajak Warga Negaranya, ketika
dibutuhkan atau kebutuhannya meningkat. Demikian pula berlaku bagi kekayaan
yang tak diketahui pemiliknya, wakaf, hibah dan pungutan denda termasuk sumber
kekayaan Negara.[17]
Kekayaan Negara
secara aktual merupakan kekayaan umum. Kepala Negara hanya bertindak sebagai
pemegang amanah. Dan merupakan kewajiban Negara untuk mengeluarkannya guna
kepentingan umum. Oleh karena itu sangat dilarang penggunaan kekayaan Negara
yang berlebih-lebihan. Adalah merupakan kewajiban Negara melindungi hak fakir
miskin, bekerja keras bagi kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem
keamanan sosial dan mengurangi jurang pemisah dalam hal distribusi pendapatan.
E.
PENGEMBANGAN HAK MILIK
1.
Pengelolaan Kepemilikan
Pengelolaan
kepemilikan adalah sekumpulan tatacara (kaifiyah) yang berupa hukum-hukum
syara' yang wajib dipegang seorang Muslim tatkala ia memanfaatkan harta yang
dimilikinya (Abdullah 1990).[18]
Mengapa seorang
Muslim wajib menggunakan cara-cara yang dibenarkan Asy-Syari' (Allah SWT) dalam mengelola harta miliknya? Sebab, harta
dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Maka dari itu,
ketika Allah telah menyerahkan kepada manusia untuk menguasai harta, artinya
adalah hanya melalui izin-Nya saja seorang Muslim akan dinilai sah memanfaatkan
harta tersebut. Izin Allah itu terwujud dalam bentuk sekumpulan hukum-hukum
syara'.
Walhasil, setiap
Muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak
memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam pengelolaan harta
yang telah dimilikinya seorang tersebut, ia wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan
syara' yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan.
Secara garis
besar, pengelolaan kepemilikan mencakup dua kegiatan. Pertama, pembelanjaan harta (infaqul
mal).
Kedua, pengembangan harta (tanmiyatul
mal).[19]
2.
Pengembangan Harta
Pengembangan harta
(tanmiyatul mal) adalah kegiatan yang memperbanyak jumlah harta yang telah
dimiliki (An-Nabhani, 1990). Seorang Muslim yang ingin mengembangkan harta yang
telah dimiliki, wajib terikat dengan ketentuan Islam berkaitan dengan
pengembangan harta. Secara umum Islam memberikan tuntunan pengembangan harta
melalui cara-cara yang sah seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang Islami
dalam bidang pertanian, perindustrian, maupun perdagangan. Selain Islam juga
melarang mengembangkan harta yang terlarang seperti dengan jalan aktifitas
riba, judi, serta aktifitas terlarang lainnya.
Pengelolaan
kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum (collective property) itu
adalah hak Negara, karena Negara adalah wakil Umat. Meskipun menyerahkan kepada
Negara untuk mengelolanya, namun Allah SWT telah melarang Negara untuk
mengelola kepemilikan umum (collective property) tersebut dengan jalan
menyerahkan penguasaannya kepada orang tertentu. Sementara mengelola dengan
selain dengan cara tersebut diperbolehkan, asal tetap berpijak kepada
hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara'.[20]
Adapun pengelolaan
kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan Negara (state property) dan
kepemilikan individu (private property), nampak jelas dalam hukum-hukum baitul
mal serta hukum-hukum mu'amalah, seperti jual-beli, gadai (rahn), dan
sebagainya. As-Syari' juga telah
memperbolehkan Negara dan individu untuk mengelola masing-masing
kepemilikannya, dengan cara lain, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang
telah dijelaskan oleh syara'.
F.
KESIMPULAN dan PENUTUP
Islam
mengakui adanya hak milik pribadi (individu) dan memperbolehkan usaha-usaha
serta inisiatif individu didalam menggunakan dan mengelola harta pribadinya.
Islam juga telah memberikan batasan-batasan tertentu sesuai syari'at sehingga
seseorang dapat menggunakan harta pribadinya tanpa merugikan kepentingan umum.
Sebenarnya
kerangka sistem Islam secara keseluruhan ini dibentuk berdasarkan kebebasan
individu didalam mencari dan memiliki harta benda dan campur tangan pemerintah
(intervensi) yang sangat terbatas hanya terhadap harta yang sangat diperlukan
oleh masyarakat, selain itu tidak.
Namun, ada
beberapa kepentingan umum yang tidak bisa dikelola dan dimiliki secara
perorangan (KA, POS, Listrik, Air, dan sebagainya), tapi semua itu menjadi
milik dan dikelola oleh Negara untuk kepentingan umum.
Kemudian
terdapat perbedaan sifat hak milik, baik itu pribadi maupun umum, yang terdapat
dalam Islam dengan kapitalis dan komunis. Didalam kapitalis, hak milik individu
adalah mutlak tak terbatas. Dalam komunis, hak milik diabaikan sama sekali.
Sedangkan didalam Islam, hak individu itu berada dalam keadaan norma, bukan tak
terbatas seperti yang terdapat dalam kapitalis, ataupun ditekan sama sekali
seperti yang terdapat dalam komunis. Inilah sisi kemoderatan Islam dalam
memandang hak milik.
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Qur'an
Al-Karim
- http://dimel2002.multiply.com/journal/item/11.
3.
Lativa
M. Algoud, Mervyn K Lewis, Perbankan
Syari'ah, Terj. Burhan W.
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003). H.49.
- http://jurnal-ekonomi.org/2004/01/19/asas-asas-ekonomi-Islam/
- Al-Nabhany, al-Nizam al-Iqtisadi.
- Al-Jami' al-Saghir, jil 2.
- Al-Shawkani,
Nayl al-Awtar, jil 6.
[2] Ibid.
[3]
Lativa M. Algoud, Mervyn K Lewis, Perbankan
Syari'ah, Terj. Burhan W. (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2003). H.49.
[5] Ibid.
[7] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Al-Nabhani, al-Nizam al Iqtisadi, 72-73.
[11] Al-Nabhani, al-Nizam al Iqtisadi, 213.
[12] Al-Nabhani, al-Nizam al Iqtisadi, 213.
[13] Lihat: al-Jami' al-Saghir, jil 2, 183.
[14] Al-Shawkani, Nayl al-Awtar, jil 6, 53.
[16] Al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi, 218.
[19] Ibid.