ISLAM IS THE BEST

Minggu, 06 Januari 2013

Riba dalam Alquran



Riba dalam Al-Quran

Oleh ; Syahmiruddin Pane, S.Sos, M.A.

Tulisan berikut tidak akan membahas kehalalan atau keharaman riba, karena keharamannya telah disepakati oleh setiap Muslim berdasarkan ayat-ayat Al-Quran serta ijma' seluruh ulama Islam, apa pun mazhab atau alirannya. Yang dibahas adalah apa yang di maksud sesungguhnya oleh Al-Quran dengan riba yang diharamkannya itu?
Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktek transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun menjadi haram, ataukah tidak sama.
Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada praktek-praktek transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa sahabat dan diduga akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi.
Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai 'Umar bin Khaththab r.a. sangat mendambakan kejelasan masalah riba ini.164 Beliau berkata: "Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu."165
Keragu-raguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan 'Umar r.a., "meninggalkan sembilan per sepuluh yang halal".166
Sebelum membuka lembaran-lembaran Al-Quran yang ayat-ayatnya berbicara tentang riba, terlebih dahulu akan dikemukakan selayang pandang tentang kehidupan ekonomi masyarakat Arab semasa turunnya Al-Quran.
Sejarah menjelaskan bahwa Tha'if, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah, merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy yang bermukim di Makkah. Di Tha'if bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktek-praktek riba, sehingga keberadaan mereka di sana menumbuhsuburkan praktek tersebut.
Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang hal tersebut dalam QS 106. Di sana pun mereka telah mengenal prktek-praktek riba. Terbukti bahwa sebagian dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti 'Abbas bin 'Abdul Muththalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid, dan lain-lain, mempraktekkannya sampai dengan turunnya larangan tersebut. Dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik terhadap larangan praktek riba yang mereka anggap sama dengan jual beli (QS 2:275). Dalam arti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan.

Riba yang Dimaksud Al-Quran

Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Sehingga bila kita hanya berhenti kepada arti "kelebihan" tersebut, logika yang dikemukakan kaum musyrik di atas cukup beralasan. Walaupun Al-Quran hanya menjawab pertanyaan mereka dengan menyatakan "Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS 2:275), pengharaman dan penghalalan tersebut tentunya tidak dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang membedakannya, dan "sesuatu" itulah yang menjadi penyebab keharamannya.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah, Ali 'Imran, Al-Nisa', dan Al-Rum. Tiga surat pertama adalah "Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Rum adalah "Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah). Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah Al-Rum ayat 39: Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pads harts manusia, maka riba itu tidak menambah pads sisi Allah ...
Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah saw. adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba,167 yaitu ayat 278-281 surat Al-Baqarah: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman.
Selanjutnya Al-Zanjani,168 berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i serta orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali 'Imran lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa'. Kalau kesimpulan mereka diterima, maka berarti ayat 130 surat Ali 'Imran yang secara tegas melarang memakan riba secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat 161 Al-Nisa' yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi yang memakan riba merupakan wahyu tahap ketiga dalam rangkaian pembicaraan Al-Quran tentang riba.
Menurut Al-Maraghi169 dan Al-Shabuni,170 tahap-tahap pembicaraan Al-Quran tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya (Al-Rum: 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (Al-Nisa': 161). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (Ali 'Imran: 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya (Al-Baqarah: 278).
Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut di atas, kedua mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat yang mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwa mustahil mengetahui urutan turunnya ayat tanpa berdasarkan suatu riwayat yang shahih, dan bahwa turunnya satu surat mendahului surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan seluruh ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului seluruh ayat dalam surat yang dinyatakan turun kemudian. Atas dasar pertimbangan tersebut, kita cenderung untuk hanya menetapkan dan membahas ayat pertama dan terakhir menyangkut riba, kemudian menjadikan kedua ayat yang tidak jelas kedudukan tahapan turunnya sebagai tahapan pertengahan.
Hal ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam memahami pengertian atau esensi riba yang diharamkan Al-Quran, karena sebagaimana dikemukakan di atas, ayat Al-Nisa' 161 merupakan kecaman kepada orang-orang Yahudi yang melakukan praktek-praktek riba. Berbeda halnya dengan ayat 130 surat Ali 'Imran yang menggunakan redaksi larangan secara tegas terhadap orang-orang Mukmin agar tidak melakukan praktek riba secara adh'afan mudha'afah. Ayat Ali 'Imran ini, baik dijadikan ayat tahapan kedua maupun tahapan ketiga, jelas sekali mendahului turunnya ayat Al-Baqarah ayat 278, serta dalam saat yang sama turun setelah turunnya ayat Al-Rum 39.
Di sisi lain, ayat Al-Rum 39 yang merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, dinilai oleh para ulama Tafsir tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-Qurthubi171 dan Ibn Al-'Arabi172 menamakan riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai riba halal. Sedang Ibn Katsir menamainya riba mubah.173 Mereka semua merujuk kepada sahabat Nabi, terutama Ibnu 'Abbas dan beberapa tabiin yang menafsirkan riba dalam ayat tersebut sebagai "hadiah" yang dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan imbalan berlebih.
Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat Al-Rum di atas dengan kata riba pada ayat-ayat lain, Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan174 menafsirkan sebab perbedaan penulisannya dalam mush-haf, yakni kata riba pada surat Al-Rum ditulis tanpa menggunakan huruf waw [huruf Arab], dan dalam surat-surat lainnya menggunakannya [huruf Arab]. Dari sini, Rasyid Ridha menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba yang diharamkan dalam Al-Quran bermula dari ayat Ali' Imran 131.175
Kalau demikian, pembahasan secara singkat tentang riba yang diharamkan Al-Quran dapat dikemukakan dengan menganalisis kandungan ayat-ayat Ali 'Imran 130 dan Al-Baqarah 278, atau lebih khusus lagi dengan memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh'afan mudha'afah; (b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru'usu amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun.
Dengan memahami kata-kata kunci tersebut, diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan Al-Quran. Dengan kata lain, "apakah sesuatu yang menjadikan kelebihan tersebut haram".

Pelbagai Pandangan di Seputar Arti Adh'afan Mudha'afah

Dari segi bahasa, kata adh'af adalah bentuk jamak (plural) dari kata dha'if yang diartikan sebagai "sesuatu bersama dengan sesuatu yang lain yang sama dengannya (ganda)". Sehingga adh'afan mudha'afah adalah pelipatgandaan yang berkali-kali. Al-Thabraniy dalam Tafsirnya mengemukakan sekitar riwayat yang dapat mengantar kita kepada pengertian adh'afan mudha'afah atau riba yang berlaku pada masa turunnya Al-Quran. Riwayat-riwayat tersebut antara lain:
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa "riba pada masa jahiliyah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan). Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya, "Bayarlah atau kamu tambah untukku." Maka apabila kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjamnya). Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun ketiga. Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan seterusnya menjadi jaz'ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut. Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), debitor mendatanginya untuk menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi 100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya 400. Demikian setiap tahun sampai ia mampu membayar.176
Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah SWT adalah yang dipraktekkan pada masa jahiliyah, yaitu bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian peminjam berkata kepadanya "untukmu (tambahan) sekian sebagai imbalan penundaan pembayaran", maka ditundalah pembayaran tersebut untuknya.177
Sementara itu, Qatadah menyatakan bahwa riba pada masa jahiliyah adalah penjualan seseorang kepada orang lain (dengan pembayaran) sampai pada masa tertentu. Bila telah tiba masa tersebut, sedang yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk membayar, ditambahlah (jumlah utangnya) dan ditangguhkan masa pembayarannya.178
Riwayat-riwayat di atas dan yang senada dengannya dikemukakan oleh para ulama Tafsir ketika membahas ayat 130 surat Ali 'Imran. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut riwayat-riwayat yang dikemukakan tersebut. Pertama, penambahan dari jumlah piutang yang digambarkan oleh ketiga riwayat tidak dilakukan pada saat transaksi, tetapi dikemukakan oleh kreditor (riwayat ke-2) atau debitor (riwayat ke-3) pada saat jatuhnya masa pembayaran. Dalam hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1883-1951) berkomentar dalam Tafsirnya:
"Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang dinamai pada masa kita sekarang dengan riba fahisy (riba yang keji atau berlebih-lebihan), yakni keuntungan berganda. Tambahan yang fahisy (berlebih-lebihan) ini terjadi setelah tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari penambahan itu (yang bersifat keji atau berlebihan itu) dalam transaksi pertama, seperti memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan) 110 ataukah lebih atau kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka itu merasa berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit (sedikit penambahan pada transaksi pertama). Tetapi, apabila telah tiba masa pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan peminjam ketika itu telah berada dalam genggaman mereka, maka mereka memaksa untuk mengadakan pelipatgandaan sebagai imbalan penundaan. Dan inilah yang dinamai riba al-nasi'ah (riba akibat penundaan). Ibn 'Abbas berpendapat bahwa nash Al-Quran menunjuk kepada riba al-nasi'ah yang dikenal (ketika itu).179
Kedua, pelipatgandaan yang disebutkan pada riwayat pertama adalah perkalian dua kali, sedangkan pada riwayat kedua dan ketiga pelipatgandaan tersebut tidak disebutkan, tetapi sekadar penambahan dari jumlah kredit. Hal ini mengantar kepada satu dari dua kemungkinan: (1) memahami masing-masing riwayat secara berdiri sendiri, sehingga memahami bahwa "riba yang terlarang adalah penambahan dari jumlah utang dalam kondisi tertentu, baik penambahan tersebut berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda; (2) memadukan riwayat-riwayat tersebut, sehingga memahami bahwa penambahan yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang tidak menyebutkan pelipatgandaan adalah penambahan berlipat ganda. Pendapat kedua ini secara lahir didukung oleh redaksi syah.
Dalam menguraikan riwayat-riwayat yang dikemukakan di atas, dan riwayat-riwayat lainnya, Al-Thabari menyimpulkan bahwa riba adh'afan mudha'afah adalah penambahan dari jumlah kredit akibat penundaan pembayaran atau apa yang dinamai dengan riba al-nasi'ah. Menurut Al-Thabari, seseorang yang mempraktekkan riba dinamai murbin karena ia melipatgandakan harta yang dimilikinya atas beban pengorbanan debitor baik secara langsung atau penambahan akibat penangguhan waktu pembayaran.180
Kesimpulan Al-Thabari di atas didukung oleh Muhammad Rasyid Ridha yang menurutnya juga merupakan kesimpulan Ibn Qayyim.181
'Abdul Mun'in Al-Namir, salah seorang anggota Dewan Ulama-ulama terkemuka Al-Azhar dan wakil Syaikh Al-Azhar, menyimpulkan bahwa: "Riba yang diharamkan tergambar pada seorang debitor yang memiliki harta kekayaan yang didatangi oleh seorang yang butuh, kemudian ia menawarkan kepadanya tambahan pada jumlah kewajiban membayar utangnya sebagai imbalan penundaan pembayaran setahun atau sebulan, dan pada akhirnya yang bersangkutan (peminjam) terpaksa tunduk dan menerima tawaran tersebut secara tidak rela."182
Di atas telah dikemukakan bahwa kata adh'afan mudha'afah berarti berlipat ganda. Sedangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan ada yang menjelaskan pelipatgandaan dan ada pula yang sekadar penambahan. Kini kita kembali bertanya: Apakah yang diharamkan itu hanya yang penambahan yang berlipat ganda ataukah segala bentuk penambahan dalam kondisi tertentu?
Yang pasti adalah bahwa teks ayat berarti "berlipat ganda". Mereka yang berpegang pada teks tersebut menyatakan bahwa ini merupakan syarat keharaman. Artinya bila tidak berlipat ganda, maka ia tidak haram. Sedangkan pihak lain menyatakan bahwa teks tersebut bukan merupakan syarat tetapi penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktekkan pada masa turunnya ayat-ayat Al-Quran. Sehingga, kata mereka lebih lanjut, penambahan walaupun tanpa pelipatgandaan adalah haram.
Hemat kami, untuk menyelesaikan hal ini perlu diperhatikan ayat terakhir yang turun menyangkut riba, khususnya kata-kata kunci yang terdapat di sana. Karena, sekalipun teks adh'afan mudha'afah merupakan syarat, namun pada akhirnya yang menentukan esensi riba yang diharamkan adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga.
Di sini yang pertama dijadikan kunci adalah firman Allah wa dzaru ma bagiya min al-riba. Pertanyaan yang timbul adalah: Apakah kata al-riba yang berbentuk ma'rifah (definite) ini merujuk kepada riba adh'afan mudha'afah ataukah tidak?
Rasyid Ridha dalam hal ini mengemukakan tiga alasan untuk membuktikan bahwa kata al-riba pada ayat Al-Baqarah ini merujuk kepada kata al-riba yang berbentuk adh'afan mudha'afah itu.183 Pertama, kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan kosakata yang berbentuk ma'rifah. Yang dimaksud oleh Rasyid Ridha adalah kaidah yang menyatakan apabila ada suatu kosakata berbentuk ma'rifah berulang, maka pengertian kosakata kedua (yang diulang) sama dengan kosakata pertama. Kata al-riba pada Ali 'Imran 130 dalam bentuk ma'rifah, demikian pula halnya pada Al-Baqarah 278. Sehingga hal ini berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir sama dengan riba yang dimaksud pada tahapan kedua yaitu yang berbentuk adh'afan mudha'afah.
Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan kaidah ini pada ayat-ayat riba adalah memahami arti al-riba pada ayat Al-Baqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan kata al-riba yang bersyarat adh'afan mudha'afah pada Ali 'Imran. Sehingga, yang dimaksud dengan al-riba pada ayat tahapan terakhir adalah riba yang berlipat ganda itu.
Ketiga, diamati oleh Rasyid Ridha bahwa pembicaraan Al-Quran tentang riba selalu digandengkan atau dihadapkan dengan pembicaraan tentang sedekah, dan riba dinamainya sebagai zhulm (penganiayaan atau penindasan).
Apa yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha di atas tentang arti riba yang dimaksud oleh Al-Quran pada ayat tahapan terakhir dalam Al-Baqarah tersebut, masih dapat ditolak oleh sementara ulama --antara lain dengan menyatakan bahwa kaidah kebahasaan yang diungkapkannya itu tidak dapat diterapkan kecuali pada rangkaian satu susunan redaksi, bukan dalam redaksi yang berjauhan sejauh Al-Baqarah dengan Ali 'Imran, serta dengan menyatakan bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang keadaan yang lumrah ketika itu, sehingga dengan demikian kaidah kedua pun tidak dapat diterapkan. Walaupun demikian, menurut hemat penulis, kesimpulan Rasyid Ridha tersebut dapat dibenarkan. Pembenaran ini berdasarkan riwayat-riwayat yang jelas dan banyak tentang sebab nuzul ayat Al-Baqarah tersebut.
Kesimpulan riwayat-riwayat tersebut antara lain:
(a) Al-'Abbas (paman Nabi) dan seorang dari keluarga Bani Al-Mughirah bekerja sama memberikan utang secara riba kepada orang-orang dari kabilah Tsaqif. Kemudian dengan datangnya Islam (dan diharamkannya riba) mereka masih memiliki (pada para debitor) sisa harta benda yang banyak, maka diturunkan ayat ini (Al-Baqarah 278 untuk melarang mereka memungut sisa harta mereka yang berupa riba yang mereka praktekkan ala jahiliyah itu.184
(b) Ayat tersebut turun menyangkut kabilah Tsaqif yang melakukan praktek riba, kemudian (mereka masuk Islam) dan bersepakat dengan Nabi untuk tidak melakukan riba lagi. Tetapi pada waktu pembukaan kota Makkah, mereka masih ingin memungut sisa uang hasil riba yang belum sempat mereka pungut yang mereka lakukan sebelum turunnya larangan riba, seakan mereka beranggapan bahwa larangan tersebut tidak berlaku surut. Maka turunlah ayat tersebut untuk menegaskan larangan memungut sisa riba tersebut.185
Atas dasar riwayat-riwayat tersebut dan riwayat-riwayat lainnya, Ibn jarir menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut berarti: "Tinggalkanlah tuntutan apa yang tersisa dari riba, yakni yang berlebih dari modal kamu..."186
Karena itu, sungguh tepat terjemahan yang ditemukan dalam Al-Qur'an dan Terjemahnya, terbitan Departemen Agama, yakni "Tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut."
Atas dasar ini, tidak tepat untuk menjadikan pengertian riba pada ayat terakhir yang turun itu melebihi pengertian riba dalam ayat Ali 'Imran yang lalu (adh'afan mudha'afah). Karena riba yang dimaksud adalah riba yang mereka lakukan pada masa yang lalu (jahiliyah). Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan Al-Quran adalah yang disebutkannya sebagai adh'afan mudha'afah atau yang diistilahkan dengan riba al-nasiah.
Kembali kepada masalah awal. Apakah hal ini berarti bahwa bila penambahan atau kelebihan tidak bersifat "berlipatganda" menjadi tidak diharamkan Al-Quran?
Jawabannya,menurut hemat kami, terdapat pada kata kunci berikutnya, yaitu fa lakum ru'usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu) (QS 2:279). Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Dan dengan demikian kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan Al-Quran dengan turunnya ayat tersebut. Dan ini berarti bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktekkan.
Kesimpulan yang diperoleh ini menjadikan persoalan kata adh'afan mudha'afah tidak penting lagi, karena apakah ia syarat atau bukan, apakah yang dimaksud dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan adalah segala bentuk kelebihan. Namun perlu digarisbawahi bahwa kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa turunnya Al-Quran dan yang diisyaratkan oleh penutup ayat Al-Baqarah 279 tersebut, yaitu la tazhlimun wa la tuzhlamun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya).
Kesimpulan yang diperoleh dari riwayat-riwayat tentang praktek riba pada masa turunnya Al-Quran, sebagaimana telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa praktek tersebut mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat uluran tangan. Kesimpulan tersebut dikonfirmasikan oleh penutup ayat Al-Baqarah 279 di atas, sebagaimana sebelumnya ia diperkuat dengan diperhadapkannya uraian tentang riba dengan sedekah, seperti dikemukakan Rasyid Ridha, yang menunjukkan bahwa kebutuhan si peminjam sedemikian mendesaknya dan keadaannya sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia diberi bantuan sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi pinjaman tanpa menguburkan sedekah. Kemudian pada ayat 280 ditegaskan bahwa, Dan jika orang yang berutang itu dalam kesulitan (sehingga tidak mampu membayar pada waktu yang ditetapkan) maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan, dan kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang itu) lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.
Ayat-ayat di atas lebih memperkuat kesimpulan bahwa kelebihan yang dipungut, apalagi bila berbentuk pelipatgandaan, merupakan penganiayaan bagi si peminjam.

Kesimpulan

Kesimpulan terakhir yang dapat kita garisbawahi adalah bahwa riba pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan jumlah utang.
Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan paktek Nabi saw. yang membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih. Sahabat Nabi, Abu Hurairah, memberitahukan bahwa Nabi saw. pernah meminjam seekor unta dengan usia tertentu kepada seseorang, kemudian orang tersebut datang kepada Nabi untuk menagihnya. Dan ketika itu dicarikan unta yang sesuai umurnya dengan unta yang dipinjamnya itu tetapi Nabi tidak mendapatkan kecuali yang lebih tua. Maka beliau memerintahkan untuk memberikan unta tersebut kepada orang yang meminjamkannya kepadanya, sambil bersabda, "Inna khayrakum ahsanukum qadha'an" (Sebaik-baik kamu adalah yang sebaik-baiknya membayar utang).
Jabir, sahabat Nabi, memberitahukan pula bahwa ia pernah mengutangi Nabi saw. Dan ketika ia mendatangi beliau, dibayarnya utangnya dan dilebihkannya. Hadis di atas kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.187
Benar bahwa ada pula riwayat yang menyatakan bahwa kullu qardin jarra manfa'atan fahuwa haram (setiap piutang yang menarik atau menghasilkan manfaat, maka ia adalah haram). Tetapi hadis ini dinilai oleh para ulama hadis sebagai hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, sehingga ia tidak dapat dijadikan dasar hukum.188
Sebagai penutup, ada baiknya dikutip apa yang telah ditulis oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar, setelah. menjelaskan arti riba yang dimaksud Al-Quran:
"Tidak pula termasuk dalam pengertian riba, jika seseorang yang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa satu dosa (sebab) kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha kecuali penganiayaan dan kelobaan. Dengan demikian, tidak mungkin ketetapan hukumnya menjadi sama dalam pandangan keadilan Tuhan dan tidak pula kemudian dalam pandangan seorang yang berakal atau berlaku adil."189

Catatan kaki

164 Dalam beberapa riwayat dinyatakan bahwa ayat terakhir turun sembilan hari sebelum Rasulullah saw. wafat.
165 Lihat Ibn Hazm, Al-Muhalla, Percetakan Al-Munir, Mesir, 1350 H, Jilid VH1, h. 477.
166 Ibid.
167 Lihat Jalaluddin Al-Suyuthiy, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Percetakan Al-Azhar, Mesir, 1318, H, Jilid I, h. 27.
168 Abdullah Al-Zanjaniy, Tarikh Al-Qur'an, Al-'Alamiy, Beirut, 1969, h. 60.
169 Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1946, jilid III, h. 59 dst.
170 Muhammad 'Ali Al-Shabuniy, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Dar Al-Qalam, Beirut, 1971, jilid I, h. 389.
171 Muhammad bin Ahmad Al-Anshariy Al-Qurthubiy, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, Dar Al-Kitab, Kairo, 1967, jilid XIV, h. 36.
172 Abu Bakar Muhammad bin Abdillah (Ibn Al-'Arabiy), Ahkam Al-Qur'an, tahqiq Muhammad Ali Al-Bajawi, 'Isa Al-Halabiy, 1957, Jilid III, h. 1479.
173 Isma'il Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Perc. Sulaiman Mar'iy, Singapura, t.t., jilid III, h. 434.
174 Lihat Badruddin Al-Zarkasyiy, Al-Burhan 'Ulum Al-Qur'an, Tahqiq Muhammad Abu Al-Fadhil, Isa Al-Halabiy, Mesir, 1957, jilid I., h. 409.
175 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, Mesir, 1376 H., jilid III, h. 113.
176 Lihat Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami'Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an, Isa Al-Halabiy, Mesir 1954, Jilid IV, h. 90.
177 Ibid, Jilid III, h. 101.
178 Ibid.
179 Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, op. cit., Jilid IV, h. 65.
180 Al-Thabariy, op. cit., Jilid III, h. 101.
181 Rasyid Ridha, op. cit., Jilid II, h. 113-114.
182 Abdul Mun'im Al-Nandr, Al-Ijtihad, Dar Al-Suruq, Kairo, 1986, h. 351.
183 Rasyid Ridha, loc. cit.
184 Al-Thabariy, op. cit., Jilid III, h. 106-107.
185 Ibid.
186 Ibid.
187 Muhammad bin 'Ali Al-Syawkaniy, Nayl Al-Authar, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1952, Jilid V, h. 245.
188 Muhammad bin Isma'il Al-Kahlaniy Al-Shan'aniy, Subul Alssalam, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1950, Jilid III, h. 53.
189 Rasyid Ridha, loc. cit.

Bahasan Riba oleh Ulama lain



MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Neo Sufisme

Neo-Sufisme dan Spiritualitas Masyarakat Modern
Oleh : Syahmiruddin Pane, S.Sos, M.A.


A.Pendahuluan

Ketika arus modernisasi menghujani dunia Islam, proses ini menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat Muslim, seperti tumbuhnya materialisme, hedonisme dan sekularisme, dll. Kondisi ini mengakibatkan kekosongan jiwa dan keringnya nilai-nilai spiritual umat Muslim. Pada saat masyarakat Muslim menyadari akan kekeringan spirititualitas dan ingin menumbuhkannya kembali, maka salah satu jalan yang dapat ditempuh ialah dengan tasawuf. Namun, kebanyakan setiap Muslim tersebut cenderung mengikuti pola-pola atau metode sufisme ortodoks (tarekat-tarekat) yang akhirnya menempatkan individu jauh dari keduniawian, lari dari kewajibannya sebagai khalifah di bumi dan menghindar dari tanggung jawabnya sebagai insan sosial.
Dalam contoh lain misalnya, berkembangnya trend berpikir bahwa  “ tobat adalah urusan di hari tua”. Paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam ini seolah-olah menjadi semacam budaya tersendiri bagi generasi muda Islam sekarang. Paham semacam ini menjadikan sebagian generasi muda Muslim jauh dari ajaran agama dan nilai-nilai spiritual agama, sehingga maksiat dianggap hal yang biasa dan harus dicoba, dan ketika sudah tua, barulah tiba masa bertobat. Begitu juga dengan tindak kekerasan dan kerusakan moral pada generasi muda Islam, menjadikan generasi Muslim sunyi dan jauh dari nilai-nilai ajaran Islam.  
Paham  demikian mengakibatkan umat Islam jadi tertinggal dibanding dengan umat-umat lainnya karena lebih mementingkan urusan akhirat dan cenderung menjauhi urusan dunia.

B.Pengertian Neo-Sufisme
Terminologi Neo-Sufisme pertama kali dimunculkan oleh pemikir muslim kontemporer, yakni oleh almarhum Fazlur Rahman dalam bukunya yang berjudul “Islam”. Menurut Rahman, neo-sufisme adalah  tasawuf yang telah diperbaharui, yang terutama dilucuti dari ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, menekankan dan memperbaharui  faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan dan aktivitas dalam tasawuf, memfokuskan pada perhatian  terhadap rekonstruksi  sosio-moral dari masyarakat Muslim.[1]
Di Indonesia, Hamka telah mengemukakan istilah tasawuf modern yang digagasnya dalam sebuah buku yang berjudul “Tasawuf Modern”. Tetapi dalam buku Hamka tersebut tidak ditemui kata Neo-Sufisme. Keseluruhan buku ini, terlihat adanya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali dengan tasawuf modern, kecuali dalam hal “uzlah” . Kalau al-Ghazali mensyaratkan uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakikat, maka Hamka justru menghendaki agar khultah  dalam mencari kebenaran hakiki untuk tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. [2]
Uzlah menunjukkan arti menyingkir atau bergeser. Atau bisa juga mengasingkan dan menjauhkan diri. Kata Uzlah ditemukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah memiliki makna yang berbeda-beda, yaitu antara makna mengasingkan secara mutlak dan sebagian, dan antara uzlah yang bersifat jasmani dan maknawi. Jadi  dapat dijelaskan secara umum bahwa uzlah yaitu menghindari sesuatu baik berbentuk tindakan atau sekedar berlepas tangan, atau dengan cara lain, baik dilakukan secara jasmani ataupun hati.[3]
 Dasar secara jasmani saja bisa dilihat pada (Q.S. Hud /11 :42) : “Dan Nuh menyeru anaknya sedang anak itu berada di tempat yang terasing” dan uzlah secara hati dan jasmani adalah pada (Q.S. Maryam /19  :48-49 ) : “Dan aku akan mengasingkan diri dari kalian dan dari apa yang kalian seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Rabbku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Rabbku, Maka ketika Ibrahim sudah mengasingkan diri dari mereka dan dari peribadatan mereka selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq danYa’kub.[4]
Khultah ialah bercampur dan berbaur, artinya bercampur dalam kehidupan sosial masyarakat. Dari penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa al-muzayalah (mengasingkan diri) berantonim dengan al-mukhalathah (berbaur). Sehingga benar kalau uzalah dapat diartikan dengan berlepas diri dengan hati, meski pandangan, perkataan dan tindakan berbeda, Dan meski secara fisik berbaur bersama mereka.[5]   Di sinilah perlu diketengahkan mengenai konsep neo-sufisme karena ide terpenting dari neo-sufisme adalah tawazun, yaitu keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara kesalehan individu dan kesalehan sosial.

C.Tokoh Neo-Sufisme
Menurut Fazlur Rahman, perintis apa yang ia sebut sebagai neo-sufisme adalah Ibnu Taimiyah ( w.728.H) yang kemudian diteruskan oleh muridnya Ibnu Qoyyim, yaitu tipe tasawuf yang mengintegrasikan hakikat dengan syariah.[6]
Ibnu Taimiyah sering dan tidak segan menyebut kepada kaum sufi sebagai golongan yang tersesat jalan dan bahkan menyerupakan mereka dengan orang kafir dan musyrik, termasuk ketika ia berbicara kepada kalangan awam mereka dan sebagian orang yang menganut paham tasawuf. Walaupun ia mengecualikan sebagaian mereka yang terkenal seperti Junaid, Abu Yazid Busthami, dan Abdul Qadir Jailani. Ia mengkritik mereka yang menyelam terlalu jauh dalam beberapa hal. Sebagai contoh hakikat pertama adalah hakikat kosmos ( al-haqiqah al-kauniyyah), artinya  Allah swt adalah pencipta alam semesta ini dan segala isinya, banyak dari mereka yang berbicara tentang hakikat dan penyaksiannya yang hanya menayaksikan hakikat ini, tiada lain. Padahal, penyaksian ini ini bukan hal yang dikhususkan bagi orang yang beriman, tatapi orang kafir juga serta pendurhaka sama-sama bisa mendapatkannya, “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? Tentu mereka menjawab, “Allah”, Bahkan Iblis pun mengakui hakikat ini. Menurutnya barangsiapa berhenti pada hakikat ini dan penyaksiannya, dan tidak menjalankan hakikat agama yang diperintah Allah kepadanya, maka keimanannya kepada Allah dinilai tidak sempurna karena ketidaksempurnaan hakikat agamanya. Ini merupakan masalah besar, banyak orang yang keliru terhadapnya dan banyak pesuluk yang tersesat.[7]  
Neo-sufisme yang merupakan gerakan “reformasi” sufisme terdahulu atau pembaruan sufisme ortodoks, digagas pertama kali oleh Al-Ghazali. Landasan pikir yang dikembangkannya adalah apa yang dikenal dengan istilah syari`at, thariqat dan hakikat yang terpadu secara utuh. Artinya bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses gradual (berkelanjutan) dan kumulatif antara syari`at dan sufisme. Sebelum memasuki dunia tasawuf, harus lebih dahulu memahami syari`at secara benar dan mendalam. Kemudian menjalani proses thariqat. Thariqat adalah semacam sistem eksoteris yang akan menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi, yakni hakikat.[8]
Sementara itu, Islam merupakan sebuah agama yang berisi ajaran-ajaran yang diturunkan Allah SWT kepada manusia melalui nabi Muhammad SAW yang diutus sebagai rasul pembawa ajaran tersebut (Q.S. al-Anbiya /21:107).[9] Islam juga mengambil bentuk sikap penyerahan diri seluruhnya kepada kehendak Allah SWT atas segala kehendaknya.[10]
Istilah modernisasi, seperti beberapa kata lainnya, berasal dari bahasa Barat yang telah dipakai dan masuk kedalam bahasa Indonesia. Awalnya di Barat, modernisasi ini merupakan gerakan yang muncul antara tahun 1650 sampai tahun 1800 M, suatu masa yang terkenal dalam sejarah Eropa sebagai The Age Of Reason atau Enlightenment, yakni masa pemujaaan akal.[11] Modernisasi  Eropa tersebut merupakan sebuah aliran, gerakan atau paham yang berusaha mengubah adat istiadat atau institusi-institusi lama dan sebagainya, agar semua itu sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Ketika istilah modernisasi masuk dan diadopsi kedalam dunia Islam pada zaman modern ini, oleh para tokoh dan pemikir terkadang istilah tersebut sering dibolak-balik menjadi Islam modern, modernisme Islam, modernitas dalam Islam dan dalam bentuk lainnya. Dalam hal ini, istilah-istilah tersebut sebenarnya mempunyai makna yang sama dan selaras maksudnya dengan modernisasi Islam. jadi, istilah ini merupakan istilah yang sering digaungkan dan didengungkan oleh para pemikir Islam untuk memperbaharui realitas-realitas yang terjadi pada masyarakat Islam sekarang.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka ada baiknya jika kita melihat langsung kepada realitas yang terjadi pada umat Islam saat ini. Salah satu realitas yang dapat ditunjukkan adalah bahwa umat Islam saat sekarang merupakan masyarakat yang menempati posisi di bawah masyarakat Barat (Eropa) dalam berbagai bidang kehidupan. Berbicara tentang peradaban yang maju, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga kalah dari mereka. Ada apa sebenarnya dengan Islam? Sehingga banyak para pemikir Islam yang mengernyitkan dahinya untuk memikirkan hal ini sampai mencari solusinya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa umat Islam mundur karena masih berkutat dengan sistem atau pola-pola tradisional yang ortodoks. Sistem yang dipakai khususnya berkaitan dengan pemahaman keagamaan atau pola fikir umat Islam sudah usang dan tidak relevan lagi dengan kebutuhan zaman modern. Mungkin hal tersebut ada benarnya, karena itu, modernisasi nampaknya kembali digalakkan oleh para pemikir muslim untuk menjadikan umat Islam sebagai umat yang memiliki kedinamisan dan mampu bertahan dengan berbagai tuntutan  zaman yang semakin kompleks.
Jika melihat kondisi umat Islam yang ada di Indonesia, maka akan semakin jelas bahwa sebagian besar umat Islam Indonesia masih berkutat dalam pola-pola dan tradisi lama. Pemahaman mengenai dogma-dogma yang masih tradisional  nampaknya masih terus dipelihara dan dipertahankan. Fazlur Rahman dalam penelitiannya mengatakan bahwa orang-orang Indonesia yang pergi ke Makkah dan tinggal bertahun-tahun di sana dan mengembangkan intelektualisme Islam ortodoks-terutama teologi ortodoks dan hadis,[12] ketika kembali ke Indonesia, mulai menyebarkan ilmu-ilmu mereka di pesantren-pesantren, yang sedikit demi sedikit berkembang menjadi madrasah. Alumni-alumninya kemudian kembali ke masyarakat dan mengembangkan ilmu-ilmu klasik yang kebanyakan berisi dogma-dogma yang tidak akliah (rasional), saya dalam hal ini tidak menyatakan bahwa pola-pola tradisional tersebut buruk dan tidak baik (pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh ulama-ulama klasik itu sangat jenius dan mampu bertahan dalam kurun waktu yang panjang) namun ada masanya di mana paham-paham (pendapat) klasik tersebut tidak dapat merespon berbagai persoalan zaman yang semakin kompleks.
Studi mengenai Islam modern, sebenarnya mencakup fikiran-fikiran, persoalan-persoalan  dan gerakan yang timbul di dunia Islam modern sebagai akibat dari kontak yang terjadi antara dunia Barat dan dunia Islam. Harun Nasution menyebutkan bahwa dalam usaha modernisasi itu, umat Islam sampai sekarang masih lebih banyak berkaitan dengan aspek dari material dari kemajuan barat seperti alat-alat industri, ekonomi, pendidikan, pers dan lain-lain, dari pada aspek spiritual dan mentalnya.[13] Jadi secara lahiriah umat Islam saat sekarang telah menjadi modern, tapi secara batiniah atau mental masih banyak yang bersifat tradisional, belum ada keseimbangan antara aspek material dengan aspek mental dalam upaya melakukan modernisasi ini.
Mungkin, sebuah contoh yang bisa dikemukakan untuk mendukung pernyataan Harun Nasution tersebut, bahwa masyarakat Islam khususnya di Indonesia cenderung masih belum bisa menerima banyak kebenaran. Kebenaran masih dipandang dari satu segi saja. Apabila berbeda dan melangkahi tuntunan dari agama secara normatif, maka sudah dianggap salah dan bid’ah (mengada-ada), ini masih banyak terjadi di Indonesia. Belum lagi masalah-masalah yang berkaitan dengan keyakinan dan kepercayaan, cenderung masih sangat rentan ada pernyataan “saya  yang benar dan mereka itu salah”

D.Corak Neo-Sufisme
Menurut Fazlur Rahman selaku penggagas istilah ini, neo-sufisme ada;ah “reformed sufism” , sufisme yang telah diperbaharui. Kalau pada era kecemerlangan sufisme terdahulu, aspek yang paling dominan adalah sifat ekstatik- metafisik atau mistis filosofis, maka dalam sufisme baru ini digantikan/direform. Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada  rekonstruksi sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu terkesan lebih bersifat individual dan “hampir “ tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah “puritanis dan aktivis”. Ia mengakomodir sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat direkonsiliasikan dengan Islam orthodoks. Tujuan akhir neo-sufisme adalah penekanan yang lebih intens pada penguatan iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam, dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama pentingnya dengan kehidupan ukhrawi. [14]

C.Sekilas Perkembangan Sufisme
          Sejak akhir abad II Hijriah, sufisme sudah populer di kalangan masyarakat dunia Islam.Sebagai perkembangan lanjut dari gaya keberagaman para zahid (meninggalkan urusan dunia) dan ‘abid ( penghambaan/penyerahan diri kepada Tuhan).[15] Fase pertama ini disebut fase zahid/asketisme yang merupakan bibit awal tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini ditandai munculnya individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat untuk beribadah dan mengabaikan kehidupan duniawi. Anyak pengamat sufisme berpendapat bahwa sufi atau sufisme diidentikkan dengan sekelompok kaum muhajirin yang bertempat tinggal di serambi Masjid Nabi di Madinah, dipimpin oleh Abu Dzar al Ghiffari. Mereka menempuh pola hidup yang sangat sederhana, zuhd terhadap dunia dan menghabiskan waktu beribadah kepada Allah. Pola kehidupan mereka kemudian dicontoh oleh sebagian umat Islam yang dalam perkembangan selanjutnya disebutkan tasawuf atau sufisme.[16] Fase ini berlangsung sampai akhir abad II H. Memasuki abad III Hijriah, ditandai dengan peralihan dari asketisme ke sufisme, ditandai dengan pergantian sebutan zahid menjadi sufi. Pada fase kedua ini topik pemikiran/pembicaraan para zahid sudah meningkat ke persoalan bagaimana jiwa yang bersih, apa itu moralitas dan pembinaannya, serta perbincangan masalah kerohanian lainnya. Pada fase ini muncul konsepsi tentang jenjang yang harus ditempuh sufi ( al-maqomat : zuhud-makrifat-mahabbah-wahdat al-wujud ) [17] serta ciri-ciri yang dimiliki orang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu. Masa ini juga timbul pemikir tasawuf terkemuka, seperti al-Muhasibi (wafat 243 H), al-Harraj (wafat 277 H), al-Junaid al-Baghdadi (wafat 297 H) dan penulis lainnya.[18]. Secara konseptual-tekstual lahirnya sufisme adalah pada fase ini, sedangkan sebelumnya hanya berupa pengetahuan perorangan. Sejak itu sufisme berkembang terus ke arah penyempurnaan.
            Kepesatan perkembangan sufisme, memperoleh dorongan setidaknya karena 3 faktor, antara lain :
1. Karena gaya kehidupan yang glamour-profanistik (daya tarik keduniawian yang semu) dan corak kehidupan materialis-konsumeris yang diperagakan oleh sebagian besar penguasa negeri yang menjalar ke kalangan masyarakat luas. Dari aspek ini, dorongan yang paling kuat adalah sebagai reaksi terhadap gaya kehidupan sekular dari kelompok elit dinasti penguasa.
2.Timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal terhadap radikalisme (sikap membangkang) kaum khawarij  dan segala pengaruh yang timbul akibat kondisi itu. Kekerasan pergulatan kekuasaan pada masa itu, menyebabkan orang-orang yang ingin mempertahankan kesalehan dalam suasana kedamaian rohaniah, keakraban cinta sesama, terpaksa memilih sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap tersebut melahirkan ‘uzlah yang cenderung ekslusif, memilih kehidupan rohaniah-mistis, mencari kompensasi untuk memenangkan pertempuran ukhrowi di medan duniawi.
3.Faktor kodifikasi hukum Islam (fiqh) dan perumusan ilmu kalam (teologi) yang dialektis-rasional, sehingga menyebabkan nilai spiritualnya  menjadi semacam wacana tiada isi, semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin mengeringkan dan menyesakkan hati yang berakibat putusnya komunikasi langsung dan suasana keakraban antara hamba dan khaliq-Nya.[19]

Tujuan akhir sufisme adalah : pertama, pelepasan secara menyeluruh Ireformasi total) segala keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat jahat yang berkenaan dengan keduniawian (fana’an ma’ashi dan baqa al ta’ah); kedua, penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak absolut Tuhan, memandangnya sebagai penggerak utama dari segala kejadian di alam semesta; ketiga, peniadaan kesadaran terhadap diri sendiri serta pemusatan perenungan kepada Tuhan semata.[20]

D.Perbedaan dan Persamaan dengan sufi klasik
Sufi klasik/sufisme orthodoks yang dipelopori oleh Al Ghazali (wafat 503 H) awalnya bertujuan membendung invasi berkembanganya teologi sufisme yang menurut pandangan kaum orthodoks dapat merusak sendi-sendi ketauhidan, maka al-Ghazali merumuskan suatu konsepsi yang diharapkan menampung aspirasi kedua belah pihak. Kalau pada kesalehan asketis ( zahid) yang awal dengan penekanannya pada motif esoteris, maka al-Ghazali menampilkan doktrin ma’rifat.
Al-ma’rifat dia maksudkan ialah pengetahuan yang diperoleh melalui penjelajahan batin atau eksperimen batin, ma’rifat idisini ialah mengawinkan kebenaran ayariah (lahiriah) dengan kebenaran sufisme (batiniyah) yang disebut hakikat. Dari perjalanan panjang dalam mencari kebenaran, ia sampai pada kesimpulan, kebenaran yang imani tidak mungkin diperoleh melalui pemikiran pilosofis, tetapi hanya melalui kehidupan batiniyah sajalah iman benar-benar dapat diperoleh, dan bahwa sufisme tidak memiliki muatan selain iman dan tauhid.[21]
            Selanjutnya ia menegaskan bahwa sufisme bukanlah suatu cara untuk  memperoleh fakta-fakta ekstra mengenai realita, melainkan cara untuk memandangnya sebagai satu kesatuan.[22]

D.  Tokoh-Tokoh Neo-Sufisme
      1.   Nurcholish Madjid
Salah satu pemikir Islam yang respon dengan hal tersebut adalah Nurcholish Madjid. Pemikiran modern Nurcholish Madjid sudah dikenal pada tahun 1970-an. Modernisasi baginya identik dengan “rasionalisasi”. Bagi seorang muslim, katanya, modernisasi adalah sebuah keharusan, bahkan suatu kewajiban mutlak. Dalam arti rasionalisasi adalah kewajiban agama, karena diperintah oleh tuhan.[23] Akan tetapi pemikirannya setelah tahun 1970-an dianggap sebagai momentum lahirnya gerakan pembaharuan pada sebagian pemuda muslim yang sangat radikal dalam pemikiran regio-politik Islam di masa orde baru Indonesia.[24]
Ide-ide pembaruan dikemukakan secara formal pertama kali dalam suatu makalah yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970 dengan judul “Keharusan pembaharuan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat.”[25]
Berdasarkan realitas tersebut, tak sulit disepakati bahwa Nurcholish Madjid yang akrab disapa “Cak Nur” masuk kedalam kategori pemikir neo-modernis Islam di Indonesia. Pemikiran dan gagasannya banyak dikagumi sekaligus dicaci maki oleh banyak orang. Meminjam istilah profesor Syahrin, maka Nurcholish Madjid  merupakan tipe seorang  shocker (pembuat kejutan) terhadap gagasan-gagasan yang diboomingkannya. Ketika umat Islam seolah-olah sedang terbuai dalam tidur nyenyak, dibuat terpelanting dari tempat tidurnya karena terkejut dengan gagasan pemikiran Islam  cak Nur. Misalnya saja mengenai kasus buku Fiqh Lintas Agama karya penulis-penulis Paramadina yang notabene cak Nur juga masuk di dalamnya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa Nurcholish Madjid juga merupakan pelanjut dari pejuang-pejuang pemikir modernis Islam di masa lampau.  Menurutnya “Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernistik”. Daya tarik Nurcholish Madjid sebenarnya terletak dalam  gagasannya mengenai rasionalisasi, sekularisasi dan pluralisme agama. Jika konsep-konsep tersebut ditelusuri dan dicari akarnya, itu merupakan buah dari gagasannya mengenai modernisasi Islam, karena gagasan modernisasi akan melahirkan ide-ide baru sebagai buah dari modernisasi tersebut seperti rasionalisme, nasionalisme, sosialisme, demokrasi dan lain sebagainya.[26] Jadi, ide-ide cak Nur yang “heboh intelektual” tersebut merupakan konsekwensi terhadap gagasan modernisasi Islam itu sendiri.
Sebenarnya masih banyak lagi gagasan-gagasan Nurcholish Madjid seputar masalah-masalah keislaman yang cukup menarik untuk dikaji. Namun dalam penelitian ini, penulis akan memfokuskan penelitian pada gagasan modernisasi Islam saja, dan akan menjalar kepada ide-ide yang berkembang disekitarnya seperti rasionalisasi, sekularisasi dan pluralitas agama. Gagasan-gagasan yang cukup menarik tersebut tentunya didukung oleh sosok Nurcholish Madjid sendiri sebagai pemikir kontemporer Islam yang cukup populer di Indonesia dan baru saja pergi meninggalkan kita semua untuk menghadap sang pencipta Allah SWT. Semoga nilai-nilai perjuangannya terhadap Islam diberi ganjaran yang setimpal, Amiin.
  Adapun sumber-sumber sekunder tersebut antara lain:
1.     Karya-karya Nurcholish Madjid; Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1984), Perspektif Kebangkitan Islam Abad ke-21 (Jurnal Ulumul Qur’an), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta, Paramadina, 1994), Islam Doktrin Dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemodernan (Jakarta, Paramadina, 1992), Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta, Paramadina, 1995) dan lain sebagainya.
2.    Abdurrahman Wahid, dkk, Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia (Bandung, Remaja Rosda Karya, 1993)
3.    Fazlur Rahman, Islam And Modernitas, Transformation Of An Intellectual Tradition (Chicago, University Of Chicago Press, 1982)  dan lain sebagainya.













DAFTAR PUSTAKA

Hamka. 2005. Tasawuf Modern. Jakarta: PT.Pustaka Panjimas.
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta :      UI-Press.

Nasution, Harun. 1998. Islam Rasional, Bandung : Mizan.  Cet. Ke-5.
Nasution, Harun. 1973. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang.

Rahman, Fazlur. 1984. Islam  diterj.Ahsin Mohammad. Bandung: Penerbit Pustaka.

Siregar, Ahmad Rivay. 2000. Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme,  Jakarta : Raja Grafindo Persada.


[1]  Fazlur Rahman, “Islam”, Diterj.Ahsin Muhammad, (Bandung : Pustaka, 1984). h. 205
[2] Ahmad Rivay Siregar, “Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme”,  (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), h.248
[3]  Salman Al Audah,  “Uzlah Jalan Terakhir”, Diterj.Ade Zarkasyi, (Solo : Jazera, 2008), h.27
[4]  Depag RI, “Al Qur’an dan Terjemahan”,  (Jakarta: Depag RI,  1971), h.468
[5]  Salman Al Audah, “Uzlah Jalan Terakhir”, h.29
[6]  Fazlur Rahman, “Islam”,  h. 206
[7] Sha’ib Abdul Hamid, “Ibnu Taimiyah”, Diterj.Irwan Kurniawan, (Jakarta:Citra, 2009), h.193
[8] Ibid, h.246
[9]  Harun Nasution, “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”, (Jakarta : UI-Press, Jilid I, 1985), h. 24
[10]  Ibid.,
[11] Harun Nasution, “Islam Rasional”, ( Bandung : Mizan ,  Cet. Ke-5, 1998), h.181
[12]  Fazlur Rahman, ”Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektrual”, (Bandung : Pustaka, 1985). h. 52
[13]   Harun Nasution, “Islam Rasional”., h. 186
[14] Fazlur Rahman, “Islam”,  h. 196
[15] Ahmad Warson Munawwir, “Kamus Munawwir Arab-Indonesia”, (Surabaya: Pustaka Progressif, Edisi II, 1997), h.595.  
[16]  Ahmad Rivay Siregar, “Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme”,  h.231
[17] Harun Nasution, “Falsafat dan Mistisisme dalam Islam”, (Jakarta : Bulan Bintang , 1973), h.56
[18] Ahmad Rivay Siregar, “Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” h.232
[19] Ahmad Rivay Siregar, “Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme”,  h.234
[20] A.E.Affifi, “A Mystical Philosopy of Muhyiddin Ibn Arabi”, Terj.Syahrir Mawi cs,   (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1989), h.189
[21] Teologi al-Ghazali
[22] Fazlur Rahman, “Islam”, terj.Ahsin Muhammad, (Bandung : Pustaka, 1984). h. 208
[23] Muhammad Kamal Hasan, “Muslim Intelektua Responses To New Order Modernisation In Indonesia”, terj. Ahmadi Thaha, (Surabaya : Bina Ilmu, 1987), h. 30
[24] Ibid., h. 14
[25] Nurcholish Madjid dalam Majalah Panji Masyarakat, no. 51, Pebruari 1970, h. 5-6
[26] Harun Nasution, Islam Rasional, h. 182